Senin, 26 Desember 2011

PERAWATAN KEJANG DEMAM DI RUANG HND

Kejang pada Anak

Pendahuluan

Kejang merupakan kedaruratan neurologik, yang sering diketemukan di ruang gawat darurat. Hampir 5% anak berumur dibawah 16 tahun setidaknya pernnah mengalami kejang sekali selama hidupnya.

Kejang mungkin sederhana, dapat berhenti sendiri dan sedikit memerlukan pengobatan lanjutan, atau merupakan gejala awal dari suatu penyakit yang berat, atau cenderung menjadi status epileptikus.

Penatalaksanaan kejang meliputi: stabilisasi jalan napas dan oksigenasi dengan oksigen aliran tinggi, pemberian obat-obatan anti kejang dan pengobatan penyakit yang mendasari.

Definisi

Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermiten dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik dan atau otonom yang disebabkan lepasnya muatan listrik di neuron otak.

Kejang fokal yang berasal dari focus local di otak dapat bermanifestasi motorik, sensorik, maupun psikomotor. Kejang umum yang melibatkan ke dua belah hemisfer, baik pada saat awal maupun lanjut, dapat berupa kejang non konvulsif (absens) dan konvulsif.

Etiologi

Kejang dapat disebabkan : trauma, alcohol atau obat-obatan, hipoksia, demam, hipoglikemia,infeksi, gangguan metabolic, tumor atau abses otak, kelainan pembuluh darah, disritmia kordis, factor genetic atau heriditer

Tabel : Penyebab tersering kejang pada anak

Kejang demam sederhana

Gangguan metabolik

Infeksi:

Hipoglikemia

Infeksi intrakrnial:meningitis, ensefalitis

Hiponatremia

Shigellosis

Hipoksemia

Keracunan:

Hipokalsemi

Alkohol

Gangguan elektrolit atau dehidrasi

Teofilin

Defisiensi piridoksin

Kokain

Gagal ginjal

Lain-lain:

Gagal hati

Ensefalopati hipertensi

Gangguan metabolik bawaan

Tumor otak

Penghentian obat antiepilepsi

Perdarahan intrakranial

Trauma kepala

Idiopatik

Trauma langsung

Luka goncangan

Sumber: Schweich dan Zempsky (1999)

Patofisiologi

Patofisiologi kejang pada tingkat selular berhubungan dengan terjadiny paroxysmal depolarization shift (PDS). PDS adalah depolarisasi potensial pasca sinap yang berlangsung lama ( 50ms). Keadaan ini dapat menyebabkan lepasnya muatan listrik yang berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya.

Terjadinya PDS yang menyebabkan hipereksitabilitas neuron otak diduga disebabkan oleh: 1. kemampuan membrane sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan muatan listrik yang berlebihan; 2. berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat; 3. meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmitter asam glutamate dan aspartat melalui jalur eksitasi yang berulang.

Pada epilepsi fokal, terdapat sekelompok sel neuron ( fokus epileptikus ) yang bertindak sebagai pacemaker lepasnya muatan listrik. Sekelompok sel neuron ini akan merangsang sel disekitarnya untuk melepaskan muatan listriknya. Keadaan ini merupakan transisi fokal interiktal atau gelombang paku iktal pada elektroensefalografi. Gejala klinis tergantung pada luasnya sel neuron yang tereksitasi. Pada epilepsy umum pembentukan gelombang paku-ombak terjadi pada struktur korteks. Terdapat penyebarab cepat dari proses eksitasi (spike) dan inhibisi (gelombang ombak) pada ke dua hemisfer otak melalui jaras kortiko-retikular-korteks (talamo-kortikal). Status epileptikus terjadi oleh karena proses eksitasi yang berlebihan berlangsung terus menerus, disamping akibat inhibisi yang tidak sempurna.

Klasifikasi

Penentuan jenis kejang sangat penting untuk menentukan pengobatan. Salah satu cara pemilihan obat anti kejang / antiepilepsi (OAE) jangka panjang adalah berdasarkan jenis kejang.

Saat ini klasifikasi kejang yang lazim digunakan adalah berdasarkan klasifikasi International League Against Epilepsy of Epileptic Seizures (1981). Pembagian jenis kejang tersebut sebagai berikut:

Tabel 2. Klasifikasi kejang

I. Kejang parsial ( fokal, lokal) : A. Kejang fokal sederhana

B. Kejang parsial kompleks

II. Kejang umum C. Kejang parsial yang menjadi umum

A. Absens

B. Mioklonik

C. Klonik

D. Tonik

E. Tonik-klonik

F. Atonik

III. Tidak dapat diklasifikasi

Sumber:The Commission on Classification and Terminology of the ILAE. Proposal for Revised Clinical and Electroencephalographic Classification of Epileptic Seizures 1981.

Kejang parsial

Manifestasi klinis dan elektroensefalografi (EEG) menunjukkan aktifitas neuron yang terbatas pada sebagian atau satu hemisfer. Dapat berupa sederhana atau kompleks.

Kejang parsial sederhana ( disebut juga fokal ) memberikan gejala sebagai berikut: 1. Waktu berlangsung 10-20 detik; 2. Pasien tetap sadar 3. Mungkin dapat bersuara pada saat kejang 4. Tidak ada post-ictal sesudah kejang 5. Karasteristik manifestasi motorik and sensorik tanpa penurunan kesadaran yaitu: motorik, kepala dan mata bergerak kesatu arah, pergerakan klonik unilateral pada muka atau ekstremitas dan sensorik: parestesi atau sakit pada daerah spesifik

Kejang kompleks

Merupakan tipe kejang tersering pada anak.Selalu terdapat gangguan kesadaran. Dapat dimulai dengan serangan parsial sederhana dan berkembang menjadi kejang kompleks. Kejang berlangsung 1-2 menit. Sering didahului oleh aura sensorik.

( penglihatan, pendengaran, atau penciuman ). Sering disertai gerakan otomatisasi seperti: memegang pakaian, gerakan bibir, mengunyah, kedip-kedip mata, berjalan dan berlari tanpa arah, gerakan-gerakan yang di ulang-ulang.Terdapat post-ictal confusion atau tertidur mengikuti kejang.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Aloanamnesis dimulai dari riwayat perjalanan penyakit sampai terjadinya kejang. Dilanjutkan dengan pertanyan terarah untuk mencari kemungkinan adanya factor pencetus atau penyebab kejang. Anamnesis diarahkan pada riwayat kejang sebelumnya, kondisi medis yang berhubungan, obat-obatan, trauma, infeksi, keluhan neurologik umum atau fokal, nyeri atau cedera akibat kejang.

Pemeriksaan fisik mulai dengan tanda-tanda vital termasuk suhu rectal, mencari tanda-tanda trauma akut kepala dan adanya kelainan sistemik, terpapar zat toksik, infeksi, atau adanya kelainan neurologik fokal seperti paralysis Todd’s. Bila terjadi penurunan kesadaran diperlukan pemeriksaan lanjutan untuk mencari factor penyebab. Pemeriksaan funduskopi disertai adanya tanda rangsang meningeal dapat menentukan adanya peningkatan tekanan intracranial akibat infeksi susunan saraf pusat.

Pemeriksaan penunjang

  1. Laboratorium

Kejang pertama, harus diperiksa kadar glukosa darah, elektrolit, hitung jenis, dan prothrombine time. Beberapa peneliti menganjurkan pemeriksaan: darah tepi lengkap, ureum, kreatinin, kalsium dan magnesium.

Bila dicurigai meningitis bakteri, lakukan pemeriksaan kultur darah, dan kultur cairan serebrospinal (CSS). Bila dicurigai ensefalitis, lakukan pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) terhadap virus herpes simpleks.

  1. Pungsi lumbal

Pungsi lumbal dipertimbangkan pada pasien kejang disertai penurunan kesadaran, perdarahan kulit, kaku kuduk, kejang lama, gejala infeksi, paresis, peningkatan sel darah putih, atau tidak adanya sebab yang jelas. Pungsi lumbal ulang dilakukan dalam 48 – 72 jam untuk memastikan adanya infeksi susunan saraf pusat (SSP). Bila didapatkan kelainan neurologis fokal dan adanya peningkatan tekanan intrakranial, dianjurkan pemeriksaan CT scan untuk mencegah terjadinya herniasi.

The American Academy of Pediatric merekomendasikan pungsi lumbal pada serangan pertama kejang disertai demam pada anak usia di bawah 12 bulan, karena gejala klinis yang berhubungan dengan meningitis sangat minimal bahkan tidak ada. Pada usia 12-18 bulan pungsi lumbal dianjurkan, sedangkan pada usia lebih dari 18 bulan pungsi lumbal dilakukan bila ada kecurigaan adanya infeksi intrakranial.

  1. Elektroensefalografi

Sindroma epilepsi menunjukkan kelainan EEG yang khas. Gambaran EEG abnormal dapat berhubungan dengan klinis kejang, dapat berupa gelombang paku, tajam, dengan atau tanpa gelombang lambat. Kelainan dapat bersifat umum, multifokal, atau fokal pada daerah temporal maupun frontal.

Pemeriksaan EEG segera sesudah kejang dalam 24-48 jam pertama, atau sleep deprivation dapat memperlihatkan berbagai macam kelainan. Beratnya kelainan EEG tidak selalu berhubungan dengan beratnya gejala klinis, Gambaran EEG yang normal atau kelainan ringan merupakan indikasi terhadap kemungkinan bebasnya kejang sesudah obat anti epilepsi dihentikan.

d. Neuroimaging

Pemeriksaan foto rontgen kepala dapat memperlihatkan adanya fraktur tulang

kepala, tetapi mempunyai nilai diagnostik yang minimal. Kelainan jaringan otak pada trauma kepala dapat dilihat dengan menggunakan gambaran Computed Tomogrphy scan (CT scan) kepala. Kelainan pada gambaran CT scan kepala dapat ditemukan pada pasien kejang dengan riwayat: trauma kepala, pemeriksaan neurologi abnormal, perubahan pola kejang, kejang berulang, penyakit susunan syaraf pusat terdahulu, kejang fokal, dan riwayat keganasan.

Magnetic Resonanse Imaging ( MRI ) lebih superior daripada CT dalam mengevaluasi lesi epileptogenik, atau tumor kecil di daerah temporal atau daerah tertutup oleh struktur tulang misalnya daerah serebelum atau batang otak. MRI dipertimbangkan pada anak dengan kejang yang sulit diatasi, epilepsi lobus temporalis, perkembangan terlambat tanpa adanya kelainan pada CT scan, dan adanya lesi ekuivokal pada CT scan.

Tatalaksana

  1. Fase akut – penghentian kejang

0 – 5 menit:

1. Yakinkan bahwa aliran udara pernapasan baik

2. Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan, berikan oksigen

3. Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan umum dan neurologi secara tepat

4. Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan tanda-tanda infeksi

5 -10 menit

1. Pemasangan akses vena

2. Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah rutin, glukosa, elektrolit.

3. Pemberian diazepam 0.2-0.5 mg/kgbb intravena (kecepatan 5mg/menit). Atau dapat diberikan per-rektal 0.5mg/kgbb (berat badan <10kg: 5mg, berat badan >10 kg: 10 mg). Dosis maksimal 10 mg/dosis.

4. Atau dapat diberikan lorazepam 0.05-0.1 mg/kg intravena (maksimum 4 mg). Alternatif lain adalah midazolam dengan dosis 0.05-0.1 mg/kg intravena.

5. Dosis diazepam intravena atau rektal dapat diulang satu-dua kali setelah 5-10 menit, lorzepam 0.1mg/kgbb dapat diulang sekali setelah 10 menit.

6. Jika ada hipoglikemia, berikan glukosa 25% 2 ml/kgbb.

10-15 menit

1. Cenderung menjadi status konvulsivus

2. Berikan fenitoin 15-20 mg/kg intravena dienncerkan dengan NaCl 0.9% dengan kecepatan 25-50mg/menit

3. Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5-10mg/kg, sampai maksimum dosis 30mg/kg

> 30 menit

1. Pemberian antikonvulsan dengan kerja panjang

2. Fenobarbital 10mg/kgbb intravena bolus perlahan-lahan dengan kecepatan 100 mg/menit. Dapat diberikan dosis tambahan 5-10 mg/kg dengan interval 10-15 menit.

3. Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan: analisa gas darah, elektrolit, gula darah.Lakukan koreksi sesuai kelainan yang ada, awasi terhadap tanda-tanda depresi pernapasan.

4. Bila kejang masih berlangsung , siapkan intubasi dan dikirim ke unit perawatan intensif. Berikan fenobarbital 5-8 mg/kgbb bolus intravena, diikuti fenobarbital drip 3-5 mg/kg/jam dalam beberapa jam dengan pernapasan melalui alat bantu napas.

  1. Pengobatan jangka panjang

Pengobatan dimulai dengan satu jenis obat (monoterapi). Dosis dinaikkan dengan titrasi, sampai tercapai konsentrasi terapetik serum atau dosis terapetik. Jika dengan dosis maksimal kejang tidak terkontrol, pertimbangkan terapi kombinasi dengan OAE lainnya. Jika kejang terkontrol, pertimbangkan peenurunan OAE pertama dahulu. Pengobatan jangka panjang yang dianjurkan selama 2-3 tahun setelah kejang yang terakhir.