Selasa, 23 Desember 2008

REUMATIK

RSUD KENDAL
Asuhan Keperawatan dengan
Reumatik (artritis treumatoid)




Pendahuluan
Perubahan – perubahan akan terjadi pada tubuh manusia sejalan dengan makin meningkatnya usia. Perubahan tubuh terjadi sejak awal kehidupan hingga usia lanjut pada semua organ dan jaringan tubuh.
Keadaan demikian itu tampak pula pada semua sistem muskuloskeletal dan jaringan lain yang ada kaitannya dengan kemungkinan timbulnya beberapa golongan reumatik. Salah satu golongan penyakit reumatik yang sering menyertai usia lanjut yang menimbulkan gangguan muskuloskeletal terutama adalah osteoartritis. Kejadian penyakit tersebut akan makin meningkat sejalan dengan meningkatnya usia manusia.
Reumatik dapat mengakibatkan perubahan otot, hingga fungsinya dapat menurun bila otot pada bagian yang menderita tidak dilatih guna mengaktifkan fungsi otot. Dengan meningkatnya usia menjadi tua fungsi otot dapat dilatih dengan baik. Namun usia lanjut tidak selalu mengalami atau menderita reumatik. Bagaimana timbulnya kejadian reumatik ini, sampai sekarang belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Reumatik bukan merupakan suatu penyakit, tapi merupakan suatu sindrom dan.golongan penyakit yang menampilkan perwujudan sindroma reumatik cukup banyak, namun semuanya menunjukkan adanya persamaan ciri. Menurut kesepakatan para ahli di bidang rematologi, reumatik dapat terungkap sebagai keluhan dan/atau tanda. Dari kesepakatan, dinyatakan ada tiga keluhan utama pada sistem muskuloskeletal yaitu: nyeri, kekakuan (rasa kaku) dan kelemahan, serta adanya tiga tanda utama yaitu: pembengkakan sendi., kelemahan otot, dan gangguan gerak. (soenarto, 1982)
Reumatik dapat terjadi pada semua umur dari kanak – kanak sampai usia lanjut, atau sebagai kelanjutan sebelum usia lanjut. Dan gangguan reumatik akan meningkat dengan meningkatnya umur. (felson, 1993, soenarto dan wardoyo, 1994)

A. Defenisi.
Istilah rheumatism berasal dari bahasa yunani, rheumatismos yang berarti mucus, suatu cairan yang dianggap jahat mengalir dari otak ke sendi dan struktur klain tubuh sehingga menimbulkan rasa nyeri atau dengan kata lain, setiap kondisi yang disertai kondisi nyeri dan kaku pada sistem muskuloskeletal disebut reumatik termasuk penyakit jaringan ikat.
B. Klasifikasi.
Reumatik dapat dikelompokkan atas beberapa golongan, yaitu :
1. Osteoartritis.
Penyakit ini merupakan penyakit kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang lambat dan berhubungan dengan usia lanjut. Secara klinis ditandai dengan nyeri, deformitas, pembesaran sendi, dan hambatan gerak pada sendi – sendi tangan dan sendi besar yang menanggung beban.
2. Artritis rematoid.
Artritis rematoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dengan manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh. Terlibatnya sendi pada pasien artritis rematoid terjadi setelah penyakit ini berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat progresifitasnya. Pasien dapat juga menunjukkan gejala berupa kelemahan umum cepat lelah.
3. Polimialgia reumatik.
Penyakit ini merupakan suatu sindrom yang terdiri dari rasa nyeri dan kekakuan yang terutama mengenai otot ekstremitas proksimal, leher, bahu dan panggul. Terutama mengenai usia pertengahan atau usia lanjut sekitar 50 tahun ke atas.
4. Artritis gout (pirai).
Artritis gout adalah suatu sindrom klinik yang mempunyai gambaran khusus, yaitu artritis akut. Artritis gout lebih banyak terdapat pada pria dari pada wanita. Pada pria sering mengenai usia pertengahan, sedangkan pada wanita biasanya mendekati masa menopause.



Osteoartritis
A. Defenisi
Osteoartritis adalah penyakit peradangan sendi yang sering muncul pada usia lanjut. Jarang dijumpai pada usia dibawah 40 tahun dan lebih sering dijumpai pada usia diatas 60 tahun.

B. Etiologi
Penyebab dari osteoartritis hingga saat ini masih belum terungkap, namun beberapa faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis antara lain adalah :
1. Umur.
Dari semua faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya orteoartritis semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Osteoartritis hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada umur dibawah 40 tahun dan sering pada umur diatas 60 tahun.
2. Jenis kelamin.
Wanita lebih sering terkena osteoartritis lutut dan sendi , dan lelaki lebih sering terkena osteoartritis paha, pergelangan tangan dan leher. Secara keeluruhan dibawah 45 tahun frekuensi osteoartritis kurang lebih sama pada laki
Dan wanita tetapi diatas 50 tahun frekuensi oeteoartritis lebih banyak pada wanita dari pada pria hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis osteoartritis.
3. Genetic
Faktor herediter juga berperan pada timbulnya osteoartritis missal, pada ibu dari seorang wanita dengan osteoartritis pada sendi-sendi inter falang distal terdapat dua kali lebih sering osteoartritis pada sendi-sendi tersebut, dan anak-anaknya perempuan cenderung mempunyai tiga kali lebih sering dari pada ibu dananak perempuan dari wanita tanpa osteoarthritis.
4. Suku.
Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada osteoartritis nampaknya terdapat perbedaan diantara masing-masing suku bangsa, misalnya osteoartritis paha lebih jarang diantara orang-orang kulit hitam dan usia dari pada kaukasia. Osteoartritis lebih sering dijumpai pada orang – orang amerika asli dari pada orang kulit putih.
Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan.
5. Kegemukan
Berat badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk timbulnya osteoartritis baik pada wanita maupun pada pria. Kegemukan ternyata tak hanya berkaitan dengan osteoartritis pada sendi yang menanggung beban, tapi juga dengan osteoartritis sendi lain (tangan atau sternoklavikula).

C. Patofisiologi.
Umur jenis kelamin genetik suku kegemukan perubahan metabolisme tulang, dan menurunkan kadar proteoglikan (berkurangnya kadar proteoglikan akan meningkatkan aktivitas enzim yang merusak makro molekul matriks tulang rawan sendi, menyebabkan kerusakan fokal tulang rawan pembentukan tulang baru pada sendi yang progresif tulang rawan, sendi dan tepi sendi akan terjadi pula ), perubahan sifat sifat kolagen, berkurangnya kadar air tulang rawan sendi, dan permukaan tulang rawan sendi terbelah pecah dengan robekan timbul laserasi

D. Menifestasi klinis
Gejala-gejala utama ialah adanya nyeri pada sendi yang terkena, terutama waktu bergerak. Umumnya timbul secara perlahan-lahan, mula-mula rasa kaku, kemudian timbul rasa nyeri yang berkurang saat istirahat. Terdapat hambatan pada pergerakan sendi, kaku pagi , krepitasi, pembesaran sendi, dan perubahan gaya berjalan.

E. Pemeriksaan penunjang
Rontgen sendi : untuk mengetahui keadaan sendi
Rentang gerak sendi

F. Penatalaksanaan
1. Obat obatan
Sampai sekarang belum ada obat yang spesifik yang khas untuk osteoartritis, oleh karena patogenesisnya yang belum jelas, obat yang diberikan bertujuan untuk mengurangi rasa sakit, meningkatkan mobilitas dan mengurangi ketidak mampuan.
Obat-obat anti inflamasinon steroid bekerja sebagai analgetik dan sekaligus mengurangi sinovitis, meskipun tak dapat memperbaiki atau menghentikan proses patologis osteoartritis.
2. Perlindungan sendi
Osteoartritis mungkin timbul atau diperkuat karena mekanisme tubuh yang kurang baik. Perlu dihindari aktivitas yang berlebihan pada sendi yang sakit. Pemakaian tongkat, alat-alat listrik yang dapat memperingan kerja sendi juga perlu diperhatikan. Beban pada lutut berlebihan karena kakai yang tertekuk (pronatio).
3. Diet
Diet untuk menurunkan berat badan pasien osteoartritis yang gemuk harus menjadi program utama pengobatan osteoartritis. Penurunan berat badan seringkali dapat mengurangi timbulnya keluhan dan peradangan.
4. Dukungan psikososial
Dukungan psikososial diperlukan pasien osteoartritis oleh karena sifatnya yang menahun dan ketidakmampuannya yang ditimbulkannya. Disatu pihak pasien ingin menyembunyikan ketidakmampuannya, dipihak lain dia ingin orang lain turut memikirkan penyakitnya. Pasien osteoartritis sering kali keberatan untuk memakai alat-alat pembantu karena faktor-faktor psikologis.
5. Persoalan seksual
Gangguan seksual dapat dijumpai pada pasien osteoartritis terutama pada tulang belakang, paha dan lutut. Sering kali diskusi karena ini harus dimulai dari dokter karena biasanya pasien enggan mengutarakannya.
6. Fisioterapi
Fisioterapi berperan penting pada penatalaksanaan osteoartritis, yang meliputi pemakaian kompres panas dan dingin dan program latihan ynag tepat. Pemakaian panas yang sedang diberikan sebelum latihan untuk mengurangi rasa nyeri dan kekakuan.
Pada sendi yang masih aktif sebaiknya diberi kompres dingin dan obat-obat gosok jangan dipakai sebelum pamanasan. Berbagai sumber panas dapat dipakai seperti hidrokolator, bantalan elektrik, ultrasonic, inframerah, mandi paraffin dan mandi dari pancuran panas.
Program latihan bertujuan untuk memperbaiki gerak sendi dan memperkuat otot yang biasanya atropik pada sekitar sendi osteoartritis.
latihan isometric lebih baik dari pada isotonic karena mengurangi tegangan pada sendi. Atropi rawan sendi dan tulang yang timbul pada tungkai yang lumpuh timbul karena berkurangnya beban ke sendi oleh karena kontraksi otot. Oleh karena otot-otot periartikular memegang peran penting terhadap perlindungan rawan senadi dari beban, maka penguatan otot-otot tersebut adalah penting.
7. Operasi
Operasi perlu dipertimbangkan pada pasien osteoartritis dengan kerusakan sendi yang nyata dengan nyari yang menetap dan kelemahan fungsi. Tindakan yang dilakukan adalah osteotomy untuk mengoreksi ketidaklurusan atau ketidaksesuaian, debridement sendi untuk menghilangkan fragmen tulang rawan sendi, pebersihan osteofit.

Asuhan keperawatan

1. Aktifitas
Gejala: nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk dengan stress pada sendi : kekakuan pada pagi hari, keletihan,
Tanda: malaise, keterbatasan rentang gerak ; atrofi otot, kulit : kontraktur atau kelainan pada sendi dan otot
2. Kardiovaskuler
Gejala : jantung cepat, tekanan darah menurun
3. Integritas ego
Gejala: faktor-faktor stress akut atau kronis : misalnya finansial, pekerjaan, ketidakmampuan, factor-faktor hubungan, keputusasaan dan ketidak berdayaan, ancaman pada konsep diri, citra tubuh, identitas pribadi misalnya ketergantungan pada orang lain
4. Makanan dan cairan
Gejala: ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi makanan/ cairan adekuat : mual, anoreksia, kesulitan untuk mengunyah, tanda: penurunan berat badan, kekeringan pada membran mukosa
5. Higiene
Gejala: berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas pribadi, ketergantungan pada orang lain.
6. Neurosensori
Gejala: kebas/kesemutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada jari tangan tanda: pembengkakan sendi 7. Kenyamanan
Gejala: fase akut dari nyeri, terasa nyeri kronis dan kekakuan
8. Keamanan
Gejala: kesulitan dalam menangani tugas/pemeliharaan rumah tangga, kekeringan pada mata dan membran mukosa
9. Interaksi sosial
Gejala: kerusakan interaksi dan keluarga / orang lsin : perubahan peran: isolasi

Diagnosa keperawatan
1. Nyeri b/d penurunan fungsi tulang
Kriteria hasil: nyeri hilang atau tekontrol
Intervensi dan Rasional
Mandiri
- Kaji keluhan nyeri, catat lokasi dan intensitas (skala 0 – 10). Catat faktor-faktor yang mempercepat dan tanda-tanda rasa sakit non verbal
- Berikan matras atau kasur keras, bantal kecil. Tinggikan line tempat tidur sesuai kebutuhan
- Biarkan pasien mengambil posisi yang nyaman pada waktu tidur atau duduk di kursi. tingkatkan istirahat di tempat tidur sesuai indikasi
- Dorong untuk sering mengubah posisi. Bantu pasien untuk bergerak di tempat tidur, sokong sendi yang sakit di atas dan di bawah, hindari gerakan yang menyentak
- Anjurkan pasien untuk mandi air hangat atau mandi pancuran pada waktu bangun. Sediakan waslap hangat untuk mengompres sendi-sendi yang sakit beberapa kali sehari. Pantau suhu air kompres, air mandi
- Berikan masase yang lembut
Kolaborasi
- Analgetika
Rasionalisasi
- Membantu dalam menentukan kebutuhan managemen nyeri dan keefektifan program
- Matras yang lembut/empuk, bantal yang besar akan mencegah pemeliharaan kesejajaran tubuh yang tepat, menempatkan setres pada sendi yang sakit. Peninggian linen tempat tidur menurunkan tekanan pada sendi yang terinflamasi / nyeri
- Pada penyakit berat, tirah baring mungkin diperlukan untuk membatasi nyeri atau cedera sendi.
- Mencegah terjadinya kelelahan umum dan kekakuan sendi. Menstabilkan sendi, mengurangi gerakan/rasa sakit pada sendi
- Panas meningkatkan relaksasi otot dan mobilitas, menurunkan rasa sakit dan melepaskan kekakuan di pagi hari. Sensitifitas pada panas dapat dihilangkan dan luka dermal dapat disembuhkan
- Meningkatkan elaksasi/mengurangi tegangan otot
- Meningkatkan relaksasi, mengurangi
- Beri obat sebelum aktivitas atau latihan yang direncanakan sesuai petunjuk seperti asetil salisilat (aspirin)
- Tegangan otot, memudahkan untuk ikut serta dalam terapi

2. Intoleran aktivitas b/d perubahan otot.
Kriteria hasil : klien mampu berpartisipasi pada aktivitas yang diinginkan.
Intervensi dan Rasional
- Perahankan istirahat tirah baring/duduk jika diperlukan.
- Bantu bergerak dengan bantuan seminimal mungkin.
- Dorong klien mempertahankan postur tegak, duduk tinggi, berdiri dan berjalan.
- Berikan lingkungan yang aman dan menganjurkan untuk menggunakan alat bantu.
- Berikan obat-obatan sesuai indikasi seperti steroidm sistemik akut.
Rasionalisasi
- Untuk mencegah kelelahan dan mempertahankan kekuatan.
- Meningkatkan fungsi sendi, kekuatan otot dan stamina umum.
- Memaksimalkan fungsi sendi dan mempertahankan mobilitas.
- Menghindari cedera akibat kecelakaan seperti jatuh.
- Untuk mene kan inflamasi

3. Resiko tinggi cedera b/d penurunan fungsi tulang.
Kriteria hasil : Mempertahankan keselamatan klien
Intervensi dan Rasional
- Kendalikan lingkungan dengan : menyingkirkan bahaya yang tampak jelas, mengurangi potensial cedera akibat jatuh ketika tidur misalnya menggunakan penyanggah tempat tidur, usahakan posisi tempat tidur rendah, gunakan pencahayaan malam
- Siapkan lampu panggil untuk memudahkan komunikasi
- Hindarkan klien dari kekhawatiran yang konstan. Yang akan meningkatkan ansietas.
- Memantau regimen medikasi izinkan kemandirian dan kebebasan maksimum dengan memberikan kebebasan dalam lingkungan yang aman, hindari penggunaan restrain, ketika pasien melamun alihkan perhatiannya
Rasionalisasi
- Lingkungan yang bebas bahaya akan mengurangi resiko cedera dan membebaskan keluaraga
- Hal ini akan memberikan pasien merasa otonomi, restrain dapat meningkatkan agitasi, mengegetkan pasien

AKUT RESPIRATORI DISTRES SINDROM

AKUT RESPIRATORY DISTRES SINDROM



LATAR BELAKANG
ARDS adalah kondisi disfungsi parenkim paru yang dikarateristikan oleh (1) kejadian antesenden mayor,(2) eksklusikardiogenik menyebabkan edema paru,(3) adanya takipnea dan hipoksia,dan(4) infiltrate pucat pada foto dada.
ARDS ( juga disebutb syok paru) akibat cedera paru dimana sebelumnya paru sehat ,sindrom ini mempengaruhi kurang lebih 150.000 sampai 200.000 pasien tiap tahun ,dengan laju mortalitas 65% untuk semua pasien yang mengalami ARDS. Faktor resiko menonjol adalah sepsis . kondisi pencetus lain termasuk trauma mayor, KID, tranfusi darah, aspirasi tenggelam, inhalasi asap atau kimia, gangguan metabolik toksik, pankreatitis, eklamsia, dan kelebihan dosis obat. Perawatan akut secara khusus menangani perawatan kritis dengan intubasi dan ventilasi mekanik (Doenges 1999 hal 217).
TUJUAN UMUM
Setelah mempelajari dan mengikuti seminar ini peserta didik atau mahasiswa mempunyai pengetahuan baik dari sisi medis dan perawatan tentang Adult Respiratory Distres Sindrom (ARDS).
TUJUAN KHUSUS
Setelah mempelajari, dan mengikut seminar ini pesrta mempunyai pengetahuan yang cukup untuk :
1. Mendefinisikan tentang ARDS
2. Menggambarkan dan mendiskusikan tentang ARDS.
3. Menggambarkan peran surfaktan pada terjadinya ARDS
4. Mendiskusikan abnormalitas ventilasi- perfusi pada ARDS.
5. Mengidentifikasi tanda dan gejala pada ARDS
6. Menggambarkansecara rinci patofisiologi dan penatalksnaan medis pada ARDS.
7. Melakukan pengkajian,mendiagnosa, dan mengidentifikasi intervensi keperawtan yang berhubungan dengan ARDS.
8. Mendiskusikan potensial komplikasi ARDS dan intervensi yang berhubungan. .




BAB II
KONSEP DASAR

ADULT RESPIRATTORY DISTERSS SYNDROM
A. MEDIS
1. PENGERTIAN
Sindrom Gawat Nafas Dewasa atau ARDS juga dikenal dengan edema paru non kardiogenik adalah sindrom klinis yang di tandai dengan penurunan progesif kandungan oksigen arteri yang terjadi setelah enyakit atau cedera serius (Brunner& Suddart hal :615) menurut TJ. Pettty 1967 Adult respiratory distress sindrom adalah istilah yang diterapkan untuk sindrom gagal nafas , hioksemia akut tanpa hiperkapnea . Sedangkan menurut (Doenges 1999) sindrom distress pernafasan dewasa adalah kondisi disfungsi parenkim paru yang dikarakteristikan oleh kejadian antesenden mayor, ekslusi kardiogenik menyebabkan edema paru , adanya takipnea , hipoksia, dan infiltrate pucat pada foto dada.
2. ETIOLOGI
a. Syok sepsis , hemoragis, kardiogenik ,dan analfilatik.
b.Trauma ; kontusio pulmonal , non pulmonal dan multisistem.
c. Infeksi : pneumonia, tuberculosis dan miliaris.
d.Koagulasi intravaskuler diseminata.( KID ).
e. Emboli lemak.
f. Aspirasi kandungan lambung yang sangat asam
g. Menghirup agen beracun ,asap, fosgen dan nitrogen oksida dan atau bahan korosif.
h. Pankreatitis
i. Toksisitas oksigen
j. Penyalahgunaan obat-obatan dan narkotika (Yasmin Asih …Hal 126).
3. PATOFISIOLOGI
ARDS terjadi sebagai akibat cedera atau trauma pada membran alveolar kapiler yang mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang interstisiel alveolar dan perubahan dalam jaring- jaring kapiler , terdapat ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi yang jelas akibat akibat kerusakan pertukaran gas dan pengalihan ekstansif darah dalam paru- paru.ARDS menyebabkan penurunan dalam pembentuka surfaktan , yang mengarah pada kolaps alveolar . Komplians paru menjadi sangat menurun atau paru- paru menjadi kaku akibatnya adalah penuruna karakteristik dalam kapasitas residual fungsional, hipoksia berat dan hipokapnia ( Brunner & Suddart 616).
. Peubahan patofisiologi berikut ini mengakibatkan sindrom klinis yang dikenal sebagai ARDS ( Philip etal,1995) :
a. Sebagai konsekuensi dari serangan pencetus , complement cascade menjadi aktif yang selanjutnya meningkatkan permeabilitas dinding kapiler.
b. Cairan , lekosit, granular, eritrosit, makrofag , sel debris, dan protein bocor kedalam ruang interstisiel antar kapiler dan alveoli dan pada akhirnya kedalam ruang alveolar.
c. Karena terdapat cairan dan debris dalam interstisium dan alveoli maka area permukaan untuk pertukaran oksigen dan CO2 menurun sehingga mengakibatkan rendahnyan rasio ventilasi - perfusi dan hipoksemia .
d. Terjadi hierventilasi kompensasi dari alveoli fungsional, sehingga mengakibatkan hipokapnea dan alkalosis resiratorik.
e. Sel- sel yang normalnya melaisi alveoli menjadi rusak dan diganti oleh sel-sel yang tidak menghasilkan surfaktan ,dengan demikian meningkatkan tekanan pembukaan alveolar.
ARDS biasanya terjadi pada individu yang sudah pernah mengalami trauma fisik, meskipun dapat juga terjadi pada individu yang terlihat sangat sehat segera sebelum awitan ,misalnya awitan mendadak seperti infeksi akut.Biasanya terdapat periode laten sekitar 18- 24 jam dari waktu cedera paru sampai berkembang menjadi gejala .durasi sindrom dapat dapat beragam dari beberapa hari sampai beberapa minggu .asien yang tampak akan pulih dari ARDS data secara mendadak relaps kedalam penyakit pulmonary akut akibat serangan sekunder seperti pneumotorak atau infeksi berat (Yasmin Asih…Hal 125).
Sebenarnya sistim vaskuler paru sanggup menampung penambahan volume darah sampai 3 kali normalnya ,namun pada tekanan tertentu , catran bocor keluar masuk ke jaringan interstisieldan terjadi edema paru.( Jan Tambayog 2000 , hal 109).


4. MANIFESTASI KLINIS
a. Distres pernafasan akut ; takipnea, dispnea , pernafsan menggunakan otot aksesoris pernafasan dan sianosis sentral.
b. Batuk kering dan demam yang terjadi lebih dari beberapa jam sampai sehari- an.
c. Krkels halus di seluruh bidang paru.
d. Perubahan sensorium yang berkisar dari kelam pikir dan agitasi sampai koma ( YasminAsih …Hal 128 ).


5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Sinar X dada ,terdapat infiltrsi jaringan parut lokasi terpusat pada region perihilir paru .Pada tahap lanjut , interstisial bilatareral difus dan alveolar infiltrate menjadi bukti dan dapat melibatkan semua lobus paru .Ukuran jantung normal,berbeda dari edema paru kardogenik .
Gas darah arteri seri membedakan gambaran kemajuan hipoksemia,hipokabniadapat terjadi pada tahap awal sehubungan dengan hierventilasi .Alkalosis respiratorik dapat terjadipada tahap dini dan pada tahap lanjut terjadi asidosis metabolik.
Tes fungsi paru ,Pengukuran pirau, dan kadar asam laktat meningkat (Doenges1999 Hal 218 – 219 ).

6. PENATALAKSANAAN
a. Mengidentifikasi dan mengatasi penyebab
b. Memastikan ventilasi yang adekuat.
c. Memberikan dukungan sirkulasi
d. Memastikan volume cairan yang adekuat
e. Memberikan dukungan nutrisi adekuat ( Brunner & Suddart Hal 616)
7. PROGNOSIS
ARDS telah menunjukan hubungan dengan angka kematian 50% samai 60%.Angka bertahan hidup sedikit meningkat ketika penyebabnya dapat ditentukan, serta diobati secara dini dan agresif, terutama penggunaan tekanan akhir ekspirasi positif. ( Brunner & Suddart Hal 616).


B. KEPERAWATAN
1. FOKUS PENGKAJIAN
a. Aktifitas / Istirahat
Gejala Kekurangan energi/ kelelehan. dan Insomnia.
b. Sirkulasi
Gejala Riwayat adanya bedah jantung / bypass jantung paru, fenomena emboli.
Tanda Tekanan darah dapat normal atau meningkat pada awal berlanjut menjadi hipoksia . Hipotensi terjadi pada tahap lebih (syok) atau dapat faktor pencetus seperti pada eklamsia.
Frekuensi jantung takikardia
Bunyi jantung normal pada tahap dini ,S2 dapat terjadi, disritmia,EKG sering normal.
Kulit dan membrane mukosa lembab.

c. Integritas Ego
Gejala Ketakutan ,ancaman perasaan takut.
Tanda Gelisah, agitsi, gemetar, mudah terangasang, Perubahan mental.
d. Makanan / cairan
Gejala Anoreksia dan mual.
Tanda Edema/ perubahan berat badan.
e. Neurosensori
Gejala / Tanda Adanya trauma kepala,mental lamban ,disfungsi
motor.
f. Pernafasan
Gejala Adanya apirasi / tenggelam ,inhalasi asap /gas,
Infeksi difus paru,kesulitan nafas,lapar udara.
Tanda Pernafasan cepat dan dangkal ,peningkatan kerja
nafas,penggnaan otot- otot aksesoris pernafasan
Bunyi nafas pada awl normal , krekels, ronki, bronchial, perkusi dada bunyi pekak diatas area konsolidasi, Espansi dad menurun /tak sama,peningkatan fremitus, sputum sedikit dan berbusa.Pucat dan sianosis. Penurunan memtal dan bingung.
g. Keamanan
Gejala Riwayat trauma ortopedi/fraktur,sepsis,tranfusi darah,episode analfilatik.
h. Seksualitas
Gejala/ Tanda Kehamilan dengan adanya komplikasi eklamsia
i. Penyuluhan / pembelajaran
Gejala Makanan / kelebihan dosis obat.
( Dongoes 1999,hal 217-218).



FOKUS INTERVENSI
DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN RASIONAL
Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan peningkatan / kekentalan sekret paru ,meningkatnya tahananjalan nafas, dan kehilangan fungsi silia jalan nafas.ditandai dengan:
Laporan dispnea,perubahan kedalman dan fekuensi pernafasan ,penggunaan otot aksesori pernafasan batuk dengan atau tanpa seputum,dan gelisah.
Hasil yang diharapkan :
o Menyatakan / menunjukan hilangnya dispnea.
o Mempertahan kan jalan nafas yang paten .
o Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan.
o Menunjukan perilaku mempertahankan bersihan jalan nafas.
Intervensi
a. Catat perubahan upaya dan pola bernafas.
b. Observasi penurunan ekspansi diding dada dan adnya peningkatan fremitus
c. Catat karakteristik bunyi nafas.
d. Catat karakteristik batuk.
e. Pertahankan posisi kepala tepat dan gunakan alat jalan nafas sesuai kebutuhan
f. Bantu dengan batuk/ nafas dalam ubah posisi penghisapan sesuai indikasi.
g. Berikan oksigen lembab, cairan IV , berikan kelembaban ruangan yang tepat.
h. Berikan terapi aerosol/ nebulaizer.
i. Lakukan fisiotherapi dada.
j. Berikan bronkodilator
Rasional
a. Penggunaan otot aksesoris pernafasan dan pelebaran hidung menunjukan peningkatan upaya bernafas.
b. Ekspansi dada tak sama /terbatas sehubungan akumulasi cairan, edema, dan secret.konsolidasi paru dapat meningkatkan fremitus.
c. Bunyi nafas menujukan aliran udara melalui trakheobronkial dipengaruhi adanya mi\ukus atau adanya obstrusi aliran udara lain.
d. Karakteristik batuk dapat berubah tergantung etiologi gagal nafas.
e. Memudahkan memelihara jalan nafas paten.
f. Penggumpulan sekresi mengganggu ventilasi.
g. Kelembaban menghilangkan dan memobilisasi secret , meningkatka transport oksigen.
h. Pengobatan ditujukan untuk mengirimkan oksigen/ bronkodilatasi.
i. Meningkatkan drainase sekret paru ke sentral bronchus.
j. Menghilangkan sepasme dan meurunkan viskositas sekret.

Kerusakan pertukaran gas berhubungan akumulasi cairan dan protein dalam area alveolar,hipoventilasi alveolar dan kehilangan surfaktan menyebabkan kolap alveolar yang ditandai dengan :
Takipnea,penggunaan otot aksesoris pernafasan, sianosis, perubahan GDA,ketidakcocokan ventilasi /perfusi.
Hasil yang diharapkan :
o Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigenasi adekuat dengan GDA dalam rentang normal.
o Berpartisipasi dalam program pengobatan sesuai kemampuan.
Intervensi
a. Kaji status pernafasan pasien
b. Catat ada tidaknya bunyi nafas tambahan.
c. Kaji adanya sianosis
d. Observsi kecenderungan tidur, apatis, tidak perhatian gelisah, bingung, somnolen.
e. Auskultasi frekuensi dan irama jantung.
f. Berikan peiode istirahat dan lingkungan yang tenang.
g. Dorong penggunaan nafas bibir bila di indikasikan
h. Berikan oksigen lembab dengan masker sesuai indikasi.
i. Kaji seri foto dada.
j. Awasi gambaran seri GDA/ oksimetri nadi.
k. Berikan obat – obat sesuai indikasi.
Rasional
a. Takipnea mekanisme kompensasi untuk hipoksemia.
b. Bunyi nafas dapat menurun ,krekels adalah bukti adanya cairan dalam area jaringan akibat peningkatan permeabilitas membrane alveolar kapiler. Mengi diakibatkan adanya penyempitan jalan nafas .
c. Penurunan O2 bermakna terjdi sebelum sianosis,sianosis sentaral terlihat pada bibir, lidah dan daun telinga. Sedangkan perifer kuku dan ekstrimitas sehubungan dengan vasokontriksi.
d. Dapat menunjukan berlanjutnya hipoksemia dan / asidosis.
e. Hipoksemia dapat menyebabkan mudah terangsang pda myocardium , menghasilkan berbagai disritmia.
f. Menghemat energi pasien dan menurunkan kebutuhan O2.
g. Dapat membantu pasien yang sembuh dari penyakit kronis, yang mengakibatkan destruksi parenkim paru.
h. Memaksimalkan sediaan O2 untuk pertukaran dengan tekanan jalan nafas positif kontinu.
i. Menunjukan kemajuan dan kemunduran kongesti paru.
j. Menunjukan ventilasi / oksigenasi dan status asam basa.

Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan penggunaan deuretik ,perpindahan cairan kearea lain.

Hasil yang di harapkan yaitu menunjukan volume cairan normal ysng dibuktikan dengan TD normal,kecepatan berat badan dan haluaran urin dalam batas normal.
Intervensi
a. Awasi tanda – tanda vital.
b. Catat peubahan mental, turgor kulit,Hidrasi membrane mukosa dan karakter sputum.
c. Monitor masukan dan pengeluaran cairan ,keseimbangan cairan dan catat kehilamngan tak tampak.
d. Timbang berat badan setiap hari.
e. Berikan cairan dalam observasi ketat sesuai indikasi.
f. Awasi / ganti elektrolit sesuai indikasi.
Rasional
a. Kekurangan / perpindahan cairan meningkatkfrekuensi jantung ,nenurunkan tekanan darah dan mengurangi volume nadi.
b. Penuruna curah jntung mempengaruhi perfusi jaringan.
c. Memberikan informasi tentang status cairan pasien.
d. Perubahan cepat menujukan gangguan dalam cairan tubuh total.
e. Memperbaiki/ mempertahan kan volume sirkulasi.
f. Elektrolit dapat menurun akibat terapi deuretik.
Ansients /Ketakutan berhubungan dengan krisis situasi,ancaman untuk perubahan status kesehatan ,takut mati dan factor psikolgis( efek hipoksemia).ditandai dengan:
· Menyatakan masalah sehubungan dengan perubahan kejadian hidup.
· Peningatan tegangan dan tak berdaya.
· Ketakutan dan gelisah.
Hasil yang di harapkan :
· Menyatakan kesadaran terhadap ansientas dan cara sehat untuk mengatsinya
· Mengakui dan mendiskusikan takut.
· Tampak rileks dan melaporkan ansientas menurun.
Intervensi
a. Observasi peningakatan kegagalan pernafasan,agitasi ,gelisah dan emosi labil.
b. Bantu dengan teknik relaksasi, bimbingan imaginasi.
c. Indentifikasi persepsi pasien terhadap ancaman yang ada oleh situasi.
d. Dorong pasien untuk menyatakan persaanya.
e. Akui kenyataan stress tanpa menyangkal atau meyakinkan bahwa segalanya akn baik
f. Identifikasi tehnik yang digunakan pasien sebelunya untukmengatasi ansientas
g. Bantu orang terdekat untuk berrespon positif pada pasien / situasi .
h. Berikan sedative sesuai indikai.
Rasional
a. Memburuknya hipoksemia dapat menyebabkan / meningkatkan ansientas.
b. Menurunkan ansietas dengan meningkatkanrelaksasi.
c. Memberikan kesempatan kepada pasien menangani/ mengontrol ansetasnya sendiri.
d. Membantu mengenal ansetas dan membantu mengidntifiksi tindakan yng dapat membantu individu.
e. Langkah awal dalam mengatasi perasaan adalah identifikasi tehadap identifikasi dan ekspresi . Mendorong penerimaan situasi dan kemampuan diri untuk mengatasi.
f. Membantu pasien menerima apa yang terjadi dan dapat menurunkan tingkat ansietas.
g. Fokus pehatian pada ketrampilan pasien yang telah dilalui dan meningkatkan rasa kontrol diri.
h. Meningkatkan penurunan ansietas melihat orang lain tetap tenang.karena ansietas dapat menular keorang lain
i. Mungkn diperlukanuntuk membantu menangani ansietas .( Doenges 1999 hal 218 - 223 )

Typoid Fever

ASUHAN KEPERAWATAN
TYPOID FEVER




A. LATAR BELAKANG
Demam tifoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya tidak tergantung pada iklim, tetapi lebih banyak dijumpai di Negara-negara sedang berkembang di daerah tropis. Hal ini disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan kebersihan indifidu yang kurang baik. Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemic, tetapi lebih sering bersifat seporadis, terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Demam tifoid dapat di temukan sepanjang tahun. Insiden tertinggi didapatkan pada anak-anak dan tidak ada perbedaan yang nyata anatra insidensi demam tifoid pada wanita dan pria.(1)
Tifoid Apdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Gejala kilnis pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10 sampai 20 hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodroma, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Relaps dapat terjadi pada minggu ke-2 setelah suhu badan normal kembali. Komlikasi pada usus halus jarang terjadi,akan tetapi sering fatal, yaitu perdarahan usus, perforasi usus dan peritonitis. Komlikasi diluar usus dapat terjadi oleh karena lokalisasi peradangan akibat sepsis, terjadinya infeksi sekunder, masukan makanan yang kurang atau suhu tubuh yang tinggi.(2)

B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Mampu melaksankan asuhan keperawatan pada anak dengan Thypus Abdominalis.

2. Tujuan khusus
a. Mampu melaksanakan pengkajiaan pada asuhan keperawatan pada anak dengan Thypus Abdominalis
b. Mampu melaksanakan perencanaan pada asuhan keperawatan pada anak dengan Thypus Abdominalis
c. Mampu melaksanakan tindakan pda asuhan keperawatan pada anak dengan Thypus Abdominalis
d. Mampu melaksanakan evaluasi pada asuhan keperawatan pada anak dengan Typus Abdominalis






















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Demam Tifoid (Typhoid Fever) adalah penyakit infeksi akut yang menyerang saluran cerna dan ditandai dengan atau tanpa gangguan kesehatan. Diagnosis ditegakkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Masa tunas berkisar antara 10 sampai 20 hari.

B. Epidemiologi
Cara penyebran demam tifoid sangat berbeda di negara maju dengan negara berkembang. Dimana dinegara maju insidensi sangat menurun sekali. Di negara yang sedang berkembang Salmonella typhosa sering merupakan isolate salmonella yang paling sering dengan insidens yang dapat mencapai 0,5% dan dengan angka mortalitas yang tinggi.
Di Indonesia jarang terdapat dalam keadaan endemik. Penderita anak yang ditemukan biasanya berumur di atas 1tahun. Sebagian besar dari penderita (80%) yang dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Anak FKUI-RSCM Jakarta berumur diatas 5 tahun. Insiden penyakit ini tidak berbeda antara anak laki-laki dan anak perempuan.

C. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Salmonella typhosa, basil gram negatif, bergerak dengan rambut getar, tidak berspora. Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik, terdiri dari zat komleks lipopolissakarida), antigen H (flagela) dan antigen Vi. Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terdapat ketiga antigen tersebut.

D. Patofisiologi
Infeksi terjadi pada saluran pencernaan. Basil diserap di usus halus. Melalui pembuluh limfe usus halus masuk ke dalam peredaran darah sampai di organ-organ terutama hati dan limpa. Basil yang tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati dan limpa sehingga organ-organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan. Kemudian basil masuk kembali kedalam peredaran darah dan menyebar keseluruh tubuh terutama ke dalam kelenjar limfoid usus halus, menimbulkan tukak berbentuk lonjong pada mukosa diatas plak nyeri. Tukak tersebut dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Gejala demam disebabkan oleh kelainan pada usus.

E. Gejala Klinis dan Laboratorium
Gejala klinis demam tifoid pada anak bisanya lebih ringan jika dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari. Yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan yang terlama sampai 30 hari jika infeksi melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin di temukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.
Kemudiaan muncul gejala klinis yang biasanya ditemukan, yaitu :
Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun setiap pagi hari dan meningkat pada sore dan malam hari. Dalam minggu ketiga suhu badan berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah. Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tangue), ujung dan tepinya kemerehan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan.
Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi spoor, koma atau gelisah.

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua. Merupakan sutu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2-4 mm, berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan. Reseola ini merupakan emboli kuman, dimana didalamnya mengandung kuman Salmonella tyhosa dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-kadang di pantat maupun bagian fleksor dan lengan atas. Kadang-kadang ditemukan bradikardia pada anak besar dan mungkin pula ditemukan epistaksis.
Pada tipe congenital, kuman dapat ditemukan pada darah, hati, limfa serta kelainan patologis pada usus tidak didapatkan, hal ini menjelaskan bahwa pada tifoid congenital penularannya lewat darah dan secara cepat menimbulkan gejala-gejala tifoid seperti pada janin. Demam tifoid pada anak dibawah usia 3 tahun jarang dilaporkan, bila terjadi biasanya gambaran klinisnya berbeda dengan anak yang lebih besar. Kejadiannya sering mendadak disertai panas tinggi, muntah-muntah, kejang-kejang dan tanda-tanda rangsang meningen. Pada pemeriksaan darah, terlihat lekositosis (20.000-25.000/mm), limpa sering teraba pada pemeriksaan fisik. Perjalanan penyakit lebih pendek, lebih variasi, sering tidak melebihi 2 minggu dengan angka kematian yang tinggi (12,5%). Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya kuman Salamonella typhii dalam darah dan feces. Reaksi widal akan mengukur antibody terhadap kuman tifoid. Pada awal terjadinya penyakit, widal akan positif dan dalam perkembangan selanjutnya misalnya 1-2 minggu kemudian akan semakin meningkat mesti demam tifoid telah diobati. Hasil test widal dianggap positif apabila titer antibodi O = 1/200 atau lebih, atau apabila terdapat peningkatan titer 4 kali pada pemeriksaan serum sepasang.
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan peningkatan laju endap darah, gambaran eritrositnya normokrom normositer, diduga oleh karena efek toksin supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan lekopeni, sering lekosit dalam batas-batas normal dan dapat pula lekositosis terutama bila disertaikomlikasi yang lain. Jumlah trombosit menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relative, aneosinodilia, dapat shift to the left atau shift to the right tergantung dari perjalanan penyakit.
Umumnya prognosa tifus abdominalis pada anak baik, asal penderita epat berobat. Mortalitas pada penderita yang dirawat adalah 6%. Prognosis menjadi kurang baik atau buruk jika terdapat gejala klinik yang berat seperti :
1. Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinua
2. Kesadaran menurun sekali (stupor), koma atau delirium
3. Terdapat komlikasi yang berat misalnya dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkopneumonia dan lain-lain
4. Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi energi protein)

F. Komlikasi
Dapat terjadi pada :
1. Usus halus
a. Perdarahan usus. Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila berat dapat disertai perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.
b. Perforasi usus. Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelah itu dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara di ronggan peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafrkma pada foto roentgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
c. Peritonitis. Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang (defence muskulair) dan nyeri pada tekanan.
2. Komlikasi di luar usus
Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia) yaitu meningitis, kolesistitis, ensefelopati dan lain-lain. Terjadi karean infeksi sekunder, yaitu bronkopneumonia.

G. Penatalaksanaan dan Terapi
Penderita yang harus dirawat dengan diagnosa praduga tifoid harus dianggap dan dirawat sebagai penderita demam tifoid secara garis besar mencakup 3 hal, yaitu :
a. Perawatan
Penderita demam tifoit perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi serta pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, untuk mencegah terjadianya komlikasi sangat fatal, tetapi tidak harus tirah baring sempurna. Pergantian posisi tidur juga diperlukan untuk menghindari dekubitus dan bronchitis hipostatik. Mobilisasi dilakukan sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi penderita dan dilakukan secara bertahap. Pada penderita dengan kesadaran yang menurun harus diobservasi agar tidak terjadi aspirasi serta tanda- tanda komlikasi demam tifoid yang lain, termasuk buang air kecil dan buang air besar perlu mendapat perhatian.
b. Diet
Kualitas makanan dasn minuman perlu diperhatikan dan disesuaikan dengan kebuatuhan caiaran dan elektrolit, kalori, protein, vitamin maupun mineral serta diusahakan makan makanan yang rendah atau bebas selulosa/ serat (pantang sayur dan buah-buahan), menghindari makanan yang merangsang / menimbulkan gas. Pada penderita dengan gangguan kesadaran diberikan makanan cair berupa nutrisional parental begitu juga untuk penderita yang mengalami komplikasi, misalnya perdarahan usus, maka pemasukan makanan harus lebih diperhatikan.
c. Medikamentosa
1) Antimikroba
Kloramfenikol
Keuntungannya adalah dapat menurunkan panas dengan cepat, harga murah, masa toksik lebih singkat, gejala / keluhan lebih cepat hilang, menurunkan komplikasi.
Indikasi penggunaan kloramfenikol adalah :
Typus yang pertama, bukan yang relaps / karier
Tidak ada pansitopeni
Lekosit > 3000 / mm
Wanita tidak hamil (karena dapat sebabkan Gray Baby Sindrom)
Dosis yang dianjurkan adalah 50-100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3 dosis. Jika tidak bisa peroral maka diberikan secara iv dengan dosis 50 mg, neonatus sebaiknya dihindarkan, bila terpaksa dosis tidak boleh melebihi 25 mg/KgBB/hari.

Tiamfenikol
Mempunyai efek yang sama dengan kloramfenikol, mengingat susunan kimianya hampir sama, hanya komplikasi hematogen pada tiamfenikol lebih jarang dilaporkan.
Dosis oral yang dianjurkan 50-100 mg/KgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis.
Indikasi untuk pengobatan demam tifoid relaps / karier (sebab disekrasikan lewat empedu dalam bentuk aktif).

Cotrimoxazole
Efektifitasnya terhadap demam tifoid masih banyak yang controversial. Kelebihan contrimoxazole antara lain dapat digunakan untuk kasus yang resisten terhadap kloramfenikol. Penyerapan di usus cukup baik, kemungkinan timbulnya kekambuhan pengobatan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol.
Kelemahan obat ini adalah terjadinya skin rash (1-5%), Stevent Jhonson Sindrom, Agranulositosis, Trombositopeni, Megaloblastik anemia. Hemolisis eritrosit terutama pada penderita defesiensi G6PD.
Dosis oral obat ini adalah 30-40 mg/Kg/KgBB/hari untuk trimetroprim, diberikan dalam 2 kali pemberiaan.

Ampisilin dan Amoksisilin
Ampisilin utamanya lebih lambat menurunkan demam bila dibandingkan dengan klorampenikol, tetapi lebih efektif untuk mengobati karier serta kurng toksik. Kelemahannya dapat terjadi skin rash (3-18%), diare (11%). Amoksisilin mempunyai daya anti bakteri yang sama dengan ampisilin, tetapi penyerapan per oral lebih baik, sehingga kadar obat yang mencapai 2 kali lebih tinggi, timbulnya kekambuhan lebih sedikit (2-5%) dan karier (0-5%).
Dosis yang dilanjutkan pada obat ini adalah :
- Ampisilin 100-200 mg/kgBB/hari
- Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari
Pengobatan demam tifoid yang menggunakan obat kombinasi tidak memberikan keuntungan lebih bila diberikan obat tunggal.
2) Simptomatis
Untuk menghilangkan gejal-gejala yang menyertai, misalnya antipiretik dan anti flatulen.
3) Suportif
Untuk memperbaiki keadaan umum, misalnya :
Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi yang tepat karena dapat menyebabkan perdarahan usus dan relaps serta memperburuk regenerasi sel. Tetapi pada kasus berat seperti toxsic sepsis (akibat kematian bakteri yang serempak dan mengeluarkan toksik) maka penggunaan kortikosteroid dapat bermanfaat menurunkan angka kematian. Efek samping obat ini adalah agronulositosis.
Ruboransia
Misalnya vitamin B komplek dan vitamin C.














BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN


FOKUS INTERVENSI
Hipertermi b.d efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus
Tujuan : Mendemontrasikan suhu dalam batas normal
Intervensi :
Monitoring KU dan Vital Sign (suhu klien)
R/ suhu 38 9 oC sampai 41 oC menunjukkan proses penyakit akut.
Monitoring suhu lingkungan, batasi atau tambahkan Linen tempat tidur sesuai indikasi
R/ suhu ruang atau jumlah selimut harus dirubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal.
Berikan kompres hangat
R/ dapat membantu mengurangi demam.
Kolaborasi pemberiaan antipiretik
R/ untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus.
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d. gangguan absorbsi nutrient.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Intervensi :
Dorong tirah baring
R/ menurunkan kebutuhan metabolik untuk mencegah penurunan kalori dan simpanan energi.
Anjurkan istirahat sebelum makan
R/ menenagkan peristaltic dan meningkatkan energi untuk makan.
Berikan kebersihan oral
R/ mulut yang bersih dapat menigkatkan energi untuk makan.
Sediakan makanan dalam ventilasi yang baik, lingkungan menyenangkan
R/ lingkungan yang menyenangkan menurunkan stress dan lebih kondusif untuk makan.
Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat
R/ nutrisi yang adekuat akan menbantu proses penyembuhan.
Kolaborasi pemberiaan nutrisi, therapi IV sesuai indikasi
R/ program ini mengistirahatkan saluran Gastrointestinal sementara memberikan nutrisi penting.
Resiko tinggi kurang volume cairan b.d. kehilangan-kehilangan sekunder terhadap diare.
Tujuan : Mempertahankan volume cairan adekuat dengan kriteria : Membran mukosa lembab, Turgor kulit baik, pengisian kapiler baik, tanda vital stabi, keseimbangan masukan dan keluaran urine normal.
Intervasi :
a. Aurasi masukan dan keluaran perkiraan dan kehilangan cairan yang tidak terlihat.
R/ memberikan informasi tentang keseimbangan cairan dan kontrol penyakit usus juga merupakan pedoman untuk penggantian cairan.
b. Observasi kulit kering berlebihan dan membran mukosa, turgon kulit dan pengisian kapiler.
c. Kaji tanda vital
R/ demam menunjukkan respon terhadap efek kehilangan cairan.
d. Pertahankan pembatasan peroral, tirah baring.
R/ kolon diistirahatkan untuk penyembuhan dan untuk penurunan cairan usus.
e. Kolaborasi untuk pemberian cairan parenteral.
R/ mempertahankan istirahat usus akan memerlukan penggantian cairan untuk mempertahankan kehilangan.
Intoleransi aktifitas b.d. peningkatan kebutuhan Metabolisme sekunder terhadap infeksi akut.
Tujuan : Melaporkan kemampuan melakukan peningkatan toleransi aktivitas.
Intervensi :Tingkatkan tirah baring dan berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung.
R/ menyediakan energi yang digunakan untuk penyembuhan.
Ubah posisi dengan sering. Berikan perawatan kulit yang baik.
R/ meningkatkan fungsi pernafasan dan meminimalkan tekanan pada area tertentu untuk menurunkan resiko kerusakan jaringan.
Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi.
R/ tirah baring lama dapat menurunkan kemampuan karena keterbatasan aktivitas yang mengganggu periode istirahat.
Berikan aktivitas hiburan yang tepat seperti nonton TV, mendengarkan radio dll.
R/ meningkatkan relaksasi dan menghemat energi.


RUJUKAN :

Carpenito LJ, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi VI EGC, Jakarta, 1997.
Doenges, ME, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi III EGC, Jakarta, 2000.
Mansjoer, A, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi IV EGC, Jakarta, 2000.
Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, Edisi XII EGC, Jakarta.Staf Pengajar IKA, Ilmu Kedokteran Anak, Buku Kuliah II FKUI, Jakarta, 1995

Ulkus Peptikum

ASUHAN KEPERAWATAN
ULKUS PEPTIKUM



A. DEFINISI
Ulkus peptikum atau tukak peptic adalah ulkus yang terjadi pada mulkosa, submukosa dan kadang-kadang sampai lapisan muskularis dari traktus grastointestinalis yang selalu berhubungan dengan asam lambung yang cukup mengandung HCL. Termasuk ini ialah ulkus (tukak) yang terdapat pada bagian bawah dari oesofagus, lambung dan duodenum bagian atas (first portion of the duodeum). Mungkin juga dijumpai tukak di yeyenum, yaitu penderita yang mengalami gastroyeyenostomy. (Sujono Hadi, 1999: 204).

B. ETIOLOGI
Sebab-sebab yang pasti dari ulkus peptikum belum diketahui. Beberapa teori yang menerangkan terjadinya tukak peptic, antara lain sebagai berikut :
1. Asam getah lambung terhadap resistensi mukosa.
Tukak peptik kronia tidak mungkin terjadi lama tanpa adanya getah lambung. Sebagai contoh berdasarkan penyelidikan yang mengumpulkan banyak penderita dengan anemia pernisiosa disertai dengan aklorida.

2. Golongan darah.
Penderita dengan darah O lebih banyak menderita tukak duodeni jika dibandingkan dengan pada tukak lambung. Adapun sebab-sebabnya belum diketahui benar. Dan hasil penelitian dilaporkan bahwa pada penderita dengan golongan darah O kemungkinan terjadinya tukak duodeni adalah 38% lebih besar dari pada golongan lainnya. Kerusakan di daerah piepilorus dapat dihubungkan dengan golongan darah A, baik berupa tukak yang biasa ataupun karsinoma. Sedangkan pada golongan darah O sering ditemukan kelainan pada korpus lambung.

3. Susunan saraf pusat
Teori nerogen pada tukak peptik telah dibicarakan tahun 1959. berdasarkan pengalaman dari Chusing, erosi akut dan tukak pada edofagus, lambung dan duodenum dapat dihubungkan dengan kerusakan intrakranial, termasuk neoplasma primer atau sekunder dan hiperensi maligna.
Faktor kejiwaan dapat menyebabkan timbulnya tukak peptik. Misalnya pada mereka yang psikisnya sangat labil, pada ketegangan jiwa, emosi, mempunyai ambisi besar dan lain-lainnya yang menyebabkan untuk hidup tidak wajar.

4. Inflamasi bakterial.
Dari dasar tukak telah dibiakkan untuk menyelidiki mikroorganisme yang diduga sebagai penyebabnya, tetapi tidak ditemukan satu macam bakteripun. Selanjutnya pada hasil pemeriksaan didapat bahwa inflamasi non bakteri atau inflamasi khemis lebih besar dari pada inflamasi bakterial. Tukak yang spesifik misalnya pada TBC dan sipilis disebabkan spesifik mikroorganisme.

5. Inflamasi nonbakterial.
Teori yang mengatakan bahwa inflamasi nonbakterial sebagai penyebab didasarkan pada inflamasi dari kurvatura minor, antrum dan bulbus duedeni yang mana dapat disebutkan juga antaral gastritis, sering ditemukan dengan tukak. Dan sebagai penyebab dari gastritis sendiri belum jelas. Tukak yang kronis ialah sebagai kelanjutan dari tukak yang akut. Berdasarkan pemeriksaan histologis ditemukan perubahan yang nyata dari erosi akut ke tukak yang akut.

6. Infark.
Teori infark yang berdasarkan timbulnya kerusakan semacam kawah, sering ditemukan pada otopsi. Adanya defek pada dinding lambung serta timbulnya infark, karena asam gelah lambung dan dapat pula ditunjukkan adanya jaringan trombose di dasar tukak. Sekarang diketahuai bahwa jaringan trombose ialah sebagai hasil daripada sebagian penyebab kerusakan, yang tidak akan dijumpai pada tukak yang akut.
7. Faktor hormonal.
Banyak teori yang menerangkan adanya pengaruh-pengaruh hormonal yang dapat menimbulkan tukak peptik.
8. Obat-obatan (drug induced peptic ulcer).
Aspirin, alkohol, tembakau dapat menyebabkan kerusakan sawar mukosa lambung. Dari sekian banyak obat-obatan, yang paling sering menyebabkan adalah golongan salisilat, yaitu menyebabkan kelainan pada mukosa lambung. Phenylbutazon juga dapat menyebabkan timbulnya tukak peptik, seperti halnya juga histamin, reseprin akan merangsang sekresi lambung. Berdasarkan penyelidikan, ternyata golongan salisilat hanya akan menyebabkan erosi lokal.
9. Herediter.
Berdasarkan penelitian di dalam keluarga ternyata bahwa tukak peptik ini ada pengaruhnya dengan herediter. Terbukti bahwa dengan orang tua/ famili yang menderita tukak, jika dibandingkan dengan mereka yang orang tuanya sehat. Oleh sebab itu, family anamnesa perlu ditegakkan.
10. Berhubungan dengan penyakit lain.
a. Hernia diafrakmatika.
Pada hernia diafrakmatika, mukosa pada lingkaran hernia mungkin merupakan tempat timbulnya erosi atau tukak.
b. Sirosis hati.
Tukak peptik ditemukan juga pada penderita penyakit hepar terutama pada sirosis lebih banyak jika dibandingkan dengan orang normal. Tukak duodeni pada kaum wanita dengan sirosis biliaris ternyata bertambah, jika neutralisasi dari isi duodenum berkurang.
c. Penyakit paru-paru.
Frekuensi dari tukak yang kronis dengan TBC paru-paru sering ditemukan. Bertambah banyaknya tukak peptik dapat dihubungkan dengan bertambah beratnya emfisema dan corpulmonale.



11. Faktor daya tahan jaringan.
Penurunan daya tahan jaringan mempermudah timbulnya ulkus. Daya tahan jaringan dipengaruhi oleh banyaknya suplay darah dan cepatnya regenerasi.

C. TANDA DAN GEJALA
1. Rasa nyeri.
a. Berkaitan dengan makanan.
b. Sifatnya periodik, timbul beberapa saat / beberapa jam setelah makan atau waktu lapar atau saat sedang tidur tengah malam.
c. Sifat nyeri: terbakar, pedih seperti ditusuk-tusuk.
d. Lokalisasi: didaerah epigrastrium.
e. Beberapa teory yang menerangkan timbulnya nyeri:
1. Teory motilitas atau ketegangan.
Rasa nyeri atau pedih pada tukak peptic disebabkan karena bertambahnya kontraksi dari lambung atau duodenum. Pada penderita muda dengan tukak duodeni, timbulnya rasa nyeri atau pedih disebabkan kontraksi pada saraf-saraf nyeri di lambung (gastric pain never) yang bertambah selama menderita tukak.
2. Teory keasaman (acid theory)
Peranan asam HCL dan getah lambung pada dinding lambung yaitu dapat menyebabkan iritasi sehingga timbul nyeri.
3. Teory Inflamasi (the Inflammatory theory).
Teori lain menyatakan bahwa nyeri tau pedih pada tukak peptik, pertama-tama disebabkan oleh reaksi inflamasi. Serabut-serabut syaraf pada proses ulcerasi mengalami kerusakan dan sisa-sisa serabut yang masih ada telah dipisahkan dari isi lambung oleh lapisan “leucofibrinous material” serta jaringan granulasi yang telah menjadi insentifterhadap asam.

2. Nausea dan vomitus.
a. Timbul bila nyerinya sangat hebat.
b. Vomitus dalam jumlah banyak disertai makanan timbul 8-12 jam setelah makan, mungkin akibat pilorik stenosis yang disebabkan oleh pilorospasme.
c. Sebelum muntah, sudah ada perasaan tidak enak pada perut.

3. Nafsu makan
Nafsu makan penderita biasanya menurun oleh karena takut terhadap timbulnya rasa nyeri beberapa jam setelah makan. Akibatnya penderita mengurus.

4. Rasa terbakar.
Rasa panas dan nyeri pada daerah retrosternal, kadang-kadang disertai regurgitasi yang mungkin disebabkan oleh reflek spasme esofageal. Rasa terbakar biasanya oleh karena makan / minum asam.

5. Waterbrash atau regurgitasi asam.
Waterbrush adalah suatu keadaan dalam mulut yang cepat terisi oleh cairan terutama saliva tanpa ada rasa. Kadang-kadang juga terjadi regurgitasi dari cairan lambung dengan rasa pahit.

6. Gejala dari kolon (Colonic symtomp).
Pada beberapa penderita tukak duodeni dapat terlihat suatu tanda-tanda sindroma usus iritatif dari tipe spastik kolon. Penderita tersebut mungkin mengeluh adanya konstipasi dan merasa nyeri di perut yang tidak berhubungan dengan makanan. Nyeri tersebut biasanya dirasakan terutama pada perut sebelah kiri, kadang mungkin terus-menerus atau bersifat kolik dan mungkin juga timbul pada saat defekasi.


D. PATOGENESIS DAN PATHWAYS
1. Patogenesis
Obat-obatan golongan NSAID (aspirin), alcohol, garam empedu, dan obat-obatan lain yang merusak mukosa lambung, mengubah permeabilitas sawar epitel, memungkinkan difusi balik asam klorida dengan akibat kerusakan jaringan (mukosa) dan khususnya pembuluh darah. Hai ini mengakibatkan pengeluaran histamin. Histamine akan merangsang sekresi asam dan meningkatkan pepsin dari pepsinogen. Histamine ini akan mengakibatkan juga peningkatan vasodilatasi kapilerm sehingga membrane kapiler menjadi permeable terhadap protein, akibatnya sejumlah protein hilang dan mukosa menjadi adema.
Peningkatan asam akan merangsang syaraf kolinergik dan syaraf simpatik. Perangsangan terhadap kolinergik akan berakibat terjadinya peningkatan motilitas sehingga menimbulkan rasa nyeri (MK I), sedangkan rangsangan terhadap syaraf simpatik dapat mengakibatkan reflek spasme esophageal sehingga timbul regurgitasi asam Hcl yang menjadi pencetus timbulnya rasa nyeri berupa rasa panas seperti terbakar yang mengandung diagnosa (keperawatan I). Selain itu, rangsangan terhadap syaraf sympatik juga dapat mengakibatkan terjadinya pilorospasme yang berlanjut menjadi pilorustenosis yang berakibat lanjut makanan dari lambung tidak bisa masuk ke saluran berikutnya. Oleh karena itu pada penderita ulkus peptikum setelah makan mengalami mual, anoreksia, kembung dan kadang vomitus. Resiko terjadinya kekurangan nutrisi bisa terjadi sebagai manifestasi dari gejala-gejala tersebut.
Pada penderita tukak lambung mengalami peningkatan pepsin yang berasal dari pepsinogen. Pepsin menyebabkan degradasi mucus yang merupakansalah satu factor lambung. Oleh karena itu terjadilah penurunan fungsi sawar sehingga mengakibatkan penghancuran kapiler dan vena kecil. Bila hal ini terus berlanjut akan dapat memunculkan komplikasi berupa pendarahan.



Perdarahan pada ulkus peptikum bisa terjadi disetiap tempat, namun yang tersering adalah dinding bulbus duodenum bagian posterior, karena dekat dengan arterigastroduodenalis atau arteri pankreatikoduodenalis. Kehilangan darah ringan dan kronik dapat mengakibatkan anemi defisiensi besi. Disamping itu perdarahan juga dapat memunculkan gejala hemateneses dan melena. Pada pendarahan akut akibat ulkus peptikum dapat mengakibatkan terjadinya kekurangan volume cairan (MK III).
Proses ulkus peptikum yang terus berlanjut, selain berakibat pendarahan dapat pula berakibat terjadinya perforasi.perforasi yang berlanjut dapat menembus organ sekitarnya, termasuk peritoneum. Bila ulkus telah sampai diperitonium dapat terjadi peritonitis akibat infasi kuman. Obstruksi merupakan salah satu komplikasi dariulkus peptikum. Obstruksi biasanya dijumpai di daerah pylorus, yang disebabkan oleh peradangan, edema, adanya pilorusplasme dan jaringan parut yang terjadi pada proses penyembuhan ulkus. Akibat adanya obstruksi bisa timbul gejala anoreksia, mual, kembung dan vomitus setelah makan.
















E. EVALUASI DIAKNOSTIK
Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya nyeri, nyeri akan epigastrik / distensi abdominal. Pemeriksaan dengan barium terhadap saluran gastro intestinal atas dapat menunjukkan adanya ulkus, endoskopi adalah prosedur diagnostic pilihan.
Endoskopi gastrointestinal atas digunakan untuk mengidentifikasi perubahan inflamasi, ulkus dan lesi. Melalui endoskopi, mukosa dapat secara langsung dilihat dan biopsy didapatkan. Endoskopi dapat mendeteksi lesi yang tidak terlihat melalui sinar x karena ukuran dan lokasinya.

F. INTERVENSI BEDAH
Tindakan pembedahan dianjurkan untuk pasien dengan ulkus yang tidak sembuh (yang gagal untuk sembuh setelah 12-16 minggu pengobatan medis), hemoragi yang mengancam hidup, pesforasi dan obstruksi. Prosedur pembedahan mencakup vagotomi dengan piloroplasti atau billroth I atau II.
Pasien yang memerlukan pembedahan ulkus adalah mereka yang mungkintelah lama sakit, putus asa, telah berhentidari peran kerjanya dan mengalami tekanan pada kehidupan keluarga mereka.
Intervensi keperawatan pra operatif untuk pasien yang mengalami pembedahan penyakit ulkus mencakup
1. menyiapkan pasien untuk test diaknostik
- pasien mengalami analisis laboratorium
- seri sinar x
- pemeriksaan fisik umum sebelum pembedahan
2. memenuhi kebutuhan cairan dan nutrisi pasien.
3. membersihkan dan mengosongkan saluran gastro intestinal
4. membatasi masukan oral






G. MASALAH KEPERAWATAN
1. nyeri (kronis) berhubungan dengan lesi sekunder terhadap peningkatan sekresi lambung.
2. risiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi normal saluran pencernaan sekunder terhadap pilorostenosis.
3. kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan sekunder terhadap ulkus peptikum.
4. kurang pengetahuan tentang prosedur bedah dan program passoperasi
5. nyeri berhubungan dengan incisi bedah
6. resiko terhadap infeksi berhubungan dengan incisi bedah

H. FOKUS INTERVENSI
1. Nyeri (kronis) berhubungan dengan lesi terhadap peningkatan sekresi lambung
Kriteria hasil : Klien akan melaporkan nyerinya hilang.
Tampak rileks dan mampu tidur / istirahat dengan tepat.
Intervensi :
a. dorong klienuntuk melaporkan adanya nyeri.
R/ mencoba untuk mentoleransi nyeri, daripada meminta analgetik.
b. Kaji laporan nyeri: catat lokasi, durasi, intensitas, bahasa non verbal klien.
R/ perubahan pada karakteristik nyeri dapat menunjukkan penyebaran penyakit atau terjadinya komlikasi.
c. Kaji ulang faktor-faktor yang mencetuskan atau menghilangkan rasa nyeri.
R/ dapat menunjukkan dengan tepat factor pencetus / pemberat (seperti kejadian stress, tidak toleran terhadap makanan ) atau menidentifikasi terjadinya komlikasi.
d. Anjurkan klien untuk istirahat dengan posisi yang nyaman (missal: lutut fleksi).
R/ menurunkan tegangan abdomen dan meningkatkan rasa control.


e. Berikan atau anjurkan klien untuk melakukan teknik relaksasi.
R/ meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan meningkatkan kemampuan koping.
f. Kolaborasi dokter dalam pemberikan obat:
- Cimetidine à pendhambat histamine H2, menurunkan produksi asam gaster, meningkatkan pH gaster dan menurunkan iritasi pada mukosa gaster, penting untuk penyembuhandan pencegahan lesi.
- Antasida à untuk mempertahankan pH gaster pada tingkat 4,5.
- Belladona à antikolinergik dapat menurunkan motilitas gaster.

2. resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi normal saluran pencernaan sekunder terhadap pilorostenosis.
Kriteria hasil : Mengidentifikasi kebutuhan nutrisi individual, menunjukkan prilaku mempertahankan nutrisi adekuat.
Intervensi :
a. Timbang badan tiap hari.
R/ memberikan informasi tentang kebutuhan diet / keefektifan therapy.
b. Anjurkan pada klien untuk tirah baring dan atau pembatasan aktivitas selama fase sakit
R/ menurunkan kebutuhan metabolik untuk mencegah penurunan kalori dan simpanan energi.
c. Batasi makanan yang dapat menyebabkan timbulnya nyeri (makanan yang mengandung gas, asam, dll)
R/ mencegah exsaserbal gejala.
d. Anjurkan pada klien untuk makan dengan porsi kecil tapi sering.
R/ untuk mengurangi perasaan tegang pada lambung.
e. Kolaborasi dengan tim medis untuk dan ahli gizi tentang:
- Pemberrian vit B12 untuk meningkatkan nafsu makan pada klien yang mengalami penurunan berat badan
- Kebutuhan harian yang realistis dan adekuat.

3. kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan sekunder terhadap ulkus peptikum.
Kriteria hasil : klien menunjukkan perbaikan keseimbangan cairan dibuktikan dengan haluaran urine adekuat dengan berat jenis normal, tanda vital stabil, membrane mukosa lembab, turgor kulit baik, pengisian kapiler cepat.
Intervensi :
a. monitor tanda vital : bandingkan dengan hasil normal klien / sebelumnya. Ukur tekanan darah dengan posisi duduk, berbaring, berdiri bila mungkin.
R/perubahan tekanan darah dannadi dapat digunakan untuk perkiraan kasar kehilangan darah (missal tekanan darah kurang dari 90 mmHg dan nadi lebih dari 110 mmHg diduga 25% penurunan volume atau kurang lebih 1000 ml )Hipotensi procedural menunjukkan penurunan volume sirsulasi.
b. Monitor intake dan output dan hubungkan dengan perubahan berat badan. Ukur kehilangan darah / cairan melalui muntah, keringat, urine dan defekasi.
R/ memberikan pedoman untuk penggantian cairan.
c. Pertahankan tirah baring: mencegah muntah dan tegangan saat defekasi.
R/ aktifitas/ muntah meningkatkan tekanan intra abdominal dan dapat mencetuskan perdarahan lebih lanjut.
d. Tinggikan kepala tempat tidur saat / selama pemberiaan antasida.
R/ mencegah refluks gaster dan aspirasi antasida dimana dapat memyebabkan komlikasiparu yang serius.
e. Hindarkan dari kafein dan minuman karbonat.
R/ kafein dan minuman karbonat merangsang produksi HCL kemungkinan potensial perdarahan ulang.
f. Kolaborasi dengan tim medis untuk memberikan cairan / darah, obat sesuai indikasi:
R/ penggantian cairan tergantung pada derajat hipovolemia dan lamanya perdarahan (akut atau kronsi). Tambahkan volume (albumin) dapat infuskan sampai golongan darah dan pencocokan silang dapat diselesaikan dan tranfusi darah dimulai. Kurang lebih 80-90 % perdarahan gaster dikontrol oleh resusitasi cairan dan management medik.

4. kurang pengetahuan tentang prosedur bedah dan program pasca operasi.
Kriteria hasil : pasien mendapatkan informasi tentang prosedur pembedahan dan program pasca operasi.
Intervensi :
a. yakinkan bahwa pasien memahami type pembedahan yang direncanakan.
b. Beritahu pasien bahwa posisi towler yang dimodifikasi akan diperlukan setelah pulih dari anastesi
c. Beritahu pasien bahwa mereka akan diminta untuk melakukan nafas dalam dan batuk pasca operasi.
d. Beritahu pasien bahwa selang NS akan dipasang pada pasca operasi dan cairan akan ditunda sampai kembalinya peristaltic
e. Beritahu pasien bahwa cairan parenteral akan diberikan, cairan oral akan ditunda sampai NS dilepas dan peristaltic telah kembali
f. Beritahu pasien bahwa makanan ditingkatkan secara bertahap dan pemberian makanan parenteral mungkin diperlukan
g. Beritahu pasien bahwa akan ada ambulasi dengan bantuan pada hari pertama pasca operasi
h. Beritahu pasien bahwa balutan luka dapat mengandung drainase.

5. nyeri berhubungan dengan incise bedah.
Kriteria hasil : nyeri hilang bila istirahat
Intervensi :
a. berikan analgesic sesuai program.
b. Tingkatkan tindakan mengubah posisi dengan sering untuk kenyamanan dan mencegah komlikasi paru dan vaskuler
c. Tunda cairan oral sampai diprogramkan
d. Gunakan penghisap lambung untuk menghilangkan cairan darah dan gas dari lambung

6. resiko terhadap infeksi berhubungan dengan insisi bedah.
Kriteria hasil : pasien bebas dari infeksi
Intervensi :
a. kaji luka terhadap tanda dan gejala infeksi dan laporan bila ada tanda dan gejala
b. kaji abdomen terhadap tanda peritonitis, nyeri tekan, kekakuan, distensi.
c. Berikan antibiotik sesuai program.


DAFTAR PUSTAKA

Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah Edisi 8 Volume 2, EGC, Jakarta.
Carpenito, Lynda Juall, 1998, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, EGC, Jakarta.
Doenges, Marllynn E, Moorhouse, Mary Frances, Glaissler, C.Alice, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta.
Price, Syivia A dan Wilson, Lorraine M, 1995, Patofisiologi, Buku I, EGC, Jakarta.
Suzanne c. Smeltzer, Brenda G Bare, 1996.
Sujono Hadi, 1999, Gastroenterologi, Alumni, Bandung.
Tucker, Susan Martin, 1998, Standar Perawatan Pasien, EGC, Jakarta.