Senin, 26 Desember 2011

PERAWATAN KEJANG DEMAM DI RUANG HND

Kejang pada Anak

Pendahuluan

Kejang merupakan kedaruratan neurologik, yang sering diketemukan di ruang gawat darurat. Hampir 5% anak berumur dibawah 16 tahun setidaknya pernnah mengalami kejang sekali selama hidupnya.

Kejang mungkin sederhana, dapat berhenti sendiri dan sedikit memerlukan pengobatan lanjutan, atau merupakan gejala awal dari suatu penyakit yang berat, atau cenderung menjadi status epileptikus.

Penatalaksanaan kejang meliputi: stabilisasi jalan napas dan oksigenasi dengan oksigen aliran tinggi, pemberian obat-obatan anti kejang dan pengobatan penyakit yang mendasari.

Definisi

Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermiten dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik dan atau otonom yang disebabkan lepasnya muatan listrik di neuron otak.

Kejang fokal yang berasal dari focus local di otak dapat bermanifestasi motorik, sensorik, maupun psikomotor. Kejang umum yang melibatkan ke dua belah hemisfer, baik pada saat awal maupun lanjut, dapat berupa kejang non konvulsif (absens) dan konvulsif.

Etiologi

Kejang dapat disebabkan : trauma, alcohol atau obat-obatan, hipoksia, demam, hipoglikemia,infeksi, gangguan metabolic, tumor atau abses otak, kelainan pembuluh darah, disritmia kordis, factor genetic atau heriditer

Tabel : Penyebab tersering kejang pada anak

Kejang demam sederhana

Gangguan metabolik

Infeksi:

Hipoglikemia

Infeksi intrakrnial:meningitis, ensefalitis

Hiponatremia

Shigellosis

Hipoksemia

Keracunan:

Hipokalsemi

Alkohol

Gangguan elektrolit atau dehidrasi

Teofilin

Defisiensi piridoksin

Kokain

Gagal ginjal

Lain-lain:

Gagal hati

Ensefalopati hipertensi

Gangguan metabolik bawaan

Tumor otak

Penghentian obat antiepilepsi

Perdarahan intrakranial

Trauma kepala

Idiopatik

Trauma langsung

Luka goncangan

Sumber: Schweich dan Zempsky (1999)

Patofisiologi

Patofisiologi kejang pada tingkat selular berhubungan dengan terjadiny paroxysmal depolarization shift (PDS). PDS adalah depolarisasi potensial pasca sinap yang berlangsung lama ( 50ms). Keadaan ini dapat menyebabkan lepasnya muatan listrik yang berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya.

Terjadinya PDS yang menyebabkan hipereksitabilitas neuron otak diduga disebabkan oleh: 1. kemampuan membrane sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan muatan listrik yang berlebihan; 2. berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat; 3. meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmitter asam glutamate dan aspartat melalui jalur eksitasi yang berulang.

Pada epilepsi fokal, terdapat sekelompok sel neuron ( fokus epileptikus ) yang bertindak sebagai pacemaker lepasnya muatan listrik. Sekelompok sel neuron ini akan merangsang sel disekitarnya untuk melepaskan muatan listriknya. Keadaan ini merupakan transisi fokal interiktal atau gelombang paku iktal pada elektroensefalografi. Gejala klinis tergantung pada luasnya sel neuron yang tereksitasi. Pada epilepsy umum pembentukan gelombang paku-ombak terjadi pada struktur korteks. Terdapat penyebarab cepat dari proses eksitasi (spike) dan inhibisi (gelombang ombak) pada ke dua hemisfer otak melalui jaras kortiko-retikular-korteks (talamo-kortikal). Status epileptikus terjadi oleh karena proses eksitasi yang berlebihan berlangsung terus menerus, disamping akibat inhibisi yang tidak sempurna.

Klasifikasi

Penentuan jenis kejang sangat penting untuk menentukan pengobatan. Salah satu cara pemilihan obat anti kejang / antiepilepsi (OAE) jangka panjang adalah berdasarkan jenis kejang.

Saat ini klasifikasi kejang yang lazim digunakan adalah berdasarkan klasifikasi International League Against Epilepsy of Epileptic Seizures (1981). Pembagian jenis kejang tersebut sebagai berikut:

Tabel 2. Klasifikasi kejang

I. Kejang parsial ( fokal, lokal) : A. Kejang fokal sederhana

B. Kejang parsial kompleks

II. Kejang umum C. Kejang parsial yang menjadi umum

A. Absens

B. Mioklonik

C. Klonik

D. Tonik

E. Tonik-klonik

F. Atonik

III. Tidak dapat diklasifikasi

Sumber:The Commission on Classification and Terminology of the ILAE. Proposal for Revised Clinical and Electroencephalographic Classification of Epileptic Seizures 1981.

Kejang parsial

Manifestasi klinis dan elektroensefalografi (EEG) menunjukkan aktifitas neuron yang terbatas pada sebagian atau satu hemisfer. Dapat berupa sederhana atau kompleks.

Kejang parsial sederhana ( disebut juga fokal ) memberikan gejala sebagai berikut: 1. Waktu berlangsung 10-20 detik; 2. Pasien tetap sadar 3. Mungkin dapat bersuara pada saat kejang 4. Tidak ada post-ictal sesudah kejang 5. Karasteristik manifestasi motorik and sensorik tanpa penurunan kesadaran yaitu: motorik, kepala dan mata bergerak kesatu arah, pergerakan klonik unilateral pada muka atau ekstremitas dan sensorik: parestesi atau sakit pada daerah spesifik

Kejang kompleks

Merupakan tipe kejang tersering pada anak.Selalu terdapat gangguan kesadaran. Dapat dimulai dengan serangan parsial sederhana dan berkembang menjadi kejang kompleks. Kejang berlangsung 1-2 menit. Sering didahului oleh aura sensorik.

( penglihatan, pendengaran, atau penciuman ). Sering disertai gerakan otomatisasi seperti: memegang pakaian, gerakan bibir, mengunyah, kedip-kedip mata, berjalan dan berlari tanpa arah, gerakan-gerakan yang di ulang-ulang.Terdapat post-ictal confusion atau tertidur mengikuti kejang.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Aloanamnesis dimulai dari riwayat perjalanan penyakit sampai terjadinya kejang. Dilanjutkan dengan pertanyan terarah untuk mencari kemungkinan adanya factor pencetus atau penyebab kejang. Anamnesis diarahkan pada riwayat kejang sebelumnya, kondisi medis yang berhubungan, obat-obatan, trauma, infeksi, keluhan neurologik umum atau fokal, nyeri atau cedera akibat kejang.

Pemeriksaan fisik mulai dengan tanda-tanda vital termasuk suhu rectal, mencari tanda-tanda trauma akut kepala dan adanya kelainan sistemik, terpapar zat toksik, infeksi, atau adanya kelainan neurologik fokal seperti paralysis Todd’s. Bila terjadi penurunan kesadaran diperlukan pemeriksaan lanjutan untuk mencari factor penyebab. Pemeriksaan funduskopi disertai adanya tanda rangsang meningeal dapat menentukan adanya peningkatan tekanan intracranial akibat infeksi susunan saraf pusat.

Pemeriksaan penunjang

  1. Laboratorium

Kejang pertama, harus diperiksa kadar glukosa darah, elektrolit, hitung jenis, dan prothrombine time. Beberapa peneliti menganjurkan pemeriksaan: darah tepi lengkap, ureum, kreatinin, kalsium dan magnesium.

Bila dicurigai meningitis bakteri, lakukan pemeriksaan kultur darah, dan kultur cairan serebrospinal (CSS). Bila dicurigai ensefalitis, lakukan pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) terhadap virus herpes simpleks.

  1. Pungsi lumbal

Pungsi lumbal dipertimbangkan pada pasien kejang disertai penurunan kesadaran, perdarahan kulit, kaku kuduk, kejang lama, gejala infeksi, paresis, peningkatan sel darah putih, atau tidak adanya sebab yang jelas. Pungsi lumbal ulang dilakukan dalam 48 – 72 jam untuk memastikan adanya infeksi susunan saraf pusat (SSP). Bila didapatkan kelainan neurologis fokal dan adanya peningkatan tekanan intrakranial, dianjurkan pemeriksaan CT scan untuk mencegah terjadinya herniasi.

The American Academy of Pediatric merekomendasikan pungsi lumbal pada serangan pertama kejang disertai demam pada anak usia di bawah 12 bulan, karena gejala klinis yang berhubungan dengan meningitis sangat minimal bahkan tidak ada. Pada usia 12-18 bulan pungsi lumbal dianjurkan, sedangkan pada usia lebih dari 18 bulan pungsi lumbal dilakukan bila ada kecurigaan adanya infeksi intrakranial.

  1. Elektroensefalografi

Sindroma epilepsi menunjukkan kelainan EEG yang khas. Gambaran EEG abnormal dapat berhubungan dengan klinis kejang, dapat berupa gelombang paku, tajam, dengan atau tanpa gelombang lambat. Kelainan dapat bersifat umum, multifokal, atau fokal pada daerah temporal maupun frontal.

Pemeriksaan EEG segera sesudah kejang dalam 24-48 jam pertama, atau sleep deprivation dapat memperlihatkan berbagai macam kelainan. Beratnya kelainan EEG tidak selalu berhubungan dengan beratnya gejala klinis, Gambaran EEG yang normal atau kelainan ringan merupakan indikasi terhadap kemungkinan bebasnya kejang sesudah obat anti epilepsi dihentikan.

d. Neuroimaging

Pemeriksaan foto rontgen kepala dapat memperlihatkan adanya fraktur tulang

kepala, tetapi mempunyai nilai diagnostik yang minimal. Kelainan jaringan otak pada trauma kepala dapat dilihat dengan menggunakan gambaran Computed Tomogrphy scan (CT scan) kepala. Kelainan pada gambaran CT scan kepala dapat ditemukan pada pasien kejang dengan riwayat: trauma kepala, pemeriksaan neurologi abnormal, perubahan pola kejang, kejang berulang, penyakit susunan syaraf pusat terdahulu, kejang fokal, dan riwayat keganasan.

Magnetic Resonanse Imaging ( MRI ) lebih superior daripada CT dalam mengevaluasi lesi epileptogenik, atau tumor kecil di daerah temporal atau daerah tertutup oleh struktur tulang misalnya daerah serebelum atau batang otak. MRI dipertimbangkan pada anak dengan kejang yang sulit diatasi, epilepsi lobus temporalis, perkembangan terlambat tanpa adanya kelainan pada CT scan, dan adanya lesi ekuivokal pada CT scan.

Tatalaksana

  1. Fase akut – penghentian kejang

0 – 5 menit:

1. Yakinkan bahwa aliran udara pernapasan baik

2. Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan, berikan oksigen

3. Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan umum dan neurologi secara tepat

4. Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan tanda-tanda infeksi

5 -10 menit

1. Pemasangan akses vena

2. Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah rutin, glukosa, elektrolit.

3. Pemberian diazepam 0.2-0.5 mg/kgbb intravena (kecepatan 5mg/menit). Atau dapat diberikan per-rektal 0.5mg/kgbb (berat badan <10kg: 5mg, berat badan >10 kg: 10 mg). Dosis maksimal 10 mg/dosis.

4. Atau dapat diberikan lorazepam 0.05-0.1 mg/kg intravena (maksimum 4 mg). Alternatif lain adalah midazolam dengan dosis 0.05-0.1 mg/kg intravena.

5. Dosis diazepam intravena atau rektal dapat diulang satu-dua kali setelah 5-10 menit, lorzepam 0.1mg/kgbb dapat diulang sekali setelah 10 menit.

6. Jika ada hipoglikemia, berikan glukosa 25% 2 ml/kgbb.

10-15 menit

1. Cenderung menjadi status konvulsivus

2. Berikan fenitoin 15-20 mg/kg intravena dienncerkan dengan NaCl 0.9% dengan kecepatan 25-50mg/menit

3. Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5-10mg/kg, sampai maksimum dosis 30mg/kg

> 30 menit

1. Pemberian antikonvulsan dengan kerja panjang

2. Fenobarbital 10mg/kgbb intravena bolus perlahan-lahan dengan kecepatan 100 mg/menit. Dapat diberikan dosis tambahan 5-10 mg/kg dengan interval 10-15 menit.

3. Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan: analisa gas darah, elektrolit, gula darah.Lakukan koreksi sesuai kelainan yang ada, awasi terhadap tanda-tanda depresi pernapasan.

4. Bila kejang masih berlangsung , siapkan intubasi dan dikirim ke unit perawatan intensif. Berikan fenobarbital 5-8 mg/kgbb bolus intravena, diikuti fenobarbital drip 3-5 mg/kg/jam dalam beberapa jam dengan pernapasan melalui alat bantu napas.

  1. Pengobatan jangka panjang

Pengobatan dimulai dengan satu jenis obat (monoterapi). Dosis dinaikkan dengan titrasi, sampai tercapai konsentrasi terapetik serum atau dosis terapetik. Jika dengan dosis maksimal kejang tidak terkontrol, pertimbangkan terapi kombinasi dengan OAE lainnya. Jika kejang terkontrol, pertimbangkan peenurunan OAE pertama dahulu. Pengobatan jangka panjang yang dianjurkan selama 2-3 tahun setelah kejang yang terakhir.

Jumat, 28 Mei 2010

Pemeriksaan Fisik

Sabtu, 09 Januari 2010

Keracunan Masal di Kendal

" Telah terjadi keracunan masal di desa Sumbersari Kecamatan Ngampel Kabupaten Kendal "
Penyebab Belum diketahui secara pasti, tercatat lebih dari 45 orang dirawat di RSUD Kendal
Mereka segera mendapatkan pertolongan dengan baik

Rabu, 16 Desember 2009

Dishcarge Planning

KONSEP DISCHARGE PLANNING
Oleh : Ners In Hospital



Pendahuluan
Discharge Planning adalah suatu proses dimana mulainya pasien mendapatkan pelayanan kesehatan yang diikuti dengan kesinambungan perawatan baik dalam proses penyembuhan maupun dalam mempertahankan derajat kesehatannya sampai pasien merasa siap untuk kembali ke lingkungannya. Discharge Planning menunjukkan beberapa proses formal yang melibatkan team atau memiliki tanggung jawab untuk mengatur perpindahan sekelompok orang ke kelompok lainnya (RCP,2001).
Perawat adalah salah satu anggota team Discharge Planner, dan sebagai discharge planner perawat mengkaji setiap pasien dengan mengumpulkan dan menggunakan data yang berhubungan untuk mengidentifikasi masalah actual dan potensial, menentukan tujuan dengan atau bersama pasien dan keluarga, memberikan tindakan khusus untuk mengajarkan dan mengkaji secara individu dalam mempertahankan atau memulihkan kembali kondisi pasien secara optimal dan mengevaluasi kesinambungan Asuhan Keperawatan. Merupakan usaha keras perawat demi kepentingan pasien untuk mencegah dan meningkatkan kondisi kesehatan pasien, dan sebagai anggota tim kesehatan, perawat berkolaborasi dengan tim lain untuk merencanakan, melakukan tindakan, berkoordinasi dan memfasilitasi total care dan juga membantu pasien memperoleh tujuan utamanya dalam meningkatkan derajat kesehatannya.


Tujuan Discharge Planning
Adalah meningkatkan kontinuitas perawatan, meningkatkan kualitas perawatan dan memaksimalkan manfaat sumber pelayanan kesehatan. Discharge Planning dapat mengurangi hari rawatan pasien, mencegah kekambuhan, meningkatkan perkembangan kondisi kesehatan pasien dan menurunkan beban perawatan pada keluarga dapat dilakukan melalui Discharge Planning ( Naylor, 1990 ). Dan menurut Mamon et al (1992), pemberian discharge planning dapat meningkatkan kemajuan pasien, membantu pasien untuk mencapai kualitas hidup optimum disebelum dipulangkan, beberapa penelitian bahkan menyatakan bahwa discharge planning memberikan efek yang penting dalam menurunkan komplikasi penyakit, pencegahan kekambuhan dan menurunkan angka mortalitas dan morbiditas (Leimnetzer et al,1993: Hester, 1996)
Seorang Discharge Planners bertugas membuat rencana, mengkoordinasikan dan memonitor dan memberikan tindakan dan proses kelanjutan perawatan (Powell,1996). Discharge planning ini menempatkan perawat pada posisi yang penting dalam proses pengobatan pasien dan dalam team discharge planner rumah sakit, pengetahuan dan kemampuan perawat dalam proses keperawatan dapat memberikan kontinuitas perawatan melalui proses discharge planning ( Naylor,1990 ) . Perawat dianggap sebagai seseorang yang memiliki kompetensi lebih dan punya keahlian dalam melakukan pengkajian secara akurat, mengelola dan memiliki komunikasi yang baik dan menyadari setiap kondisi dalam masyarakat. (Harper, 1998 ).


Keuntungan Discharge Planning
Bagi Pasien :
- Dapat memenuhi kebutuhan pasien
- Merasakan bahwa dirinya adalah bagian dari proses perawatan sebagai bagian yang aktif dan bukan objek yang tidak berdaya.
- Menyadari haknya untuk dipenuhi segala kebutuhannya
- Merasa nyaman untuk kelanjutan perawatannya dan memperoleh support sebelum timbulnya masalah.
- Dapat memilih prosedur perawatannya
- Mengerti apa yang terjadi pada dirinya dan mengetahui siapa yang dapat dihubunginya.

Bagi Perawat :
- Merasakan bahwa keahliannya di terima dan dapat di gunakan
- Menerima informasi kunci setiap waktu
- Memahami perannya dalam system
- Dapat mengembangkan ketrampilan dalam prosedur baru
- Memiliki kesempatan untuk bekerja dalam setting yang berbeda dan cara yang berbeda.
- Bekerja dalam suatu system dengan efektif.


Justifikasi Metode Discharge Planning
Di Indonesia semua pelayanan keperawatan di Rumah Sakit , telah merancang berbagai bentuk format Discharge Planning, namun discharge planning kebanyakan dipakai hanya dalam bentuk pendokumentasian resume pasien pulang, berupa informasi yang harus di sampaikan pada pasien yang akan pulang seperti intervensi medis dan non medis yang sudah diberikan, jadwal kontrol, gizi yang harus dipenuhi setelah dirumah. Cara ini merupakan pemberian informasi yang sasarannya ke pasien dan keluarga hanya untuk sekedar tahu dan mengingatkan, namun tidak ada yang bisa menjamin apakah pasien dan keluarga mengetahui faktor resiko apa yang dapat membuat penyakitnya kambuh, penanganan apa yang dilakukan bisa terjadi kegawatdaruratan terhadap kondisi penyakitnya, untuk itu pelaksanaan discharge planning di rumah sakit apalagi dengan penyakit kronis seperti stroke, diabetes mellitus, penyakit jantung dan lain-lain yang memiliki resiko tinggi untuk kambuh dan berulangnya kondisi kegawatan sangat penting dimana akan memberikan proses deep-learning pada pasien hingga terjadinya perubahan perilaku pasien dan keluarganya dalam memaknai kondisi kesehatannya.

Contoh-Contoh Bisa Berhubungan langsung dengan RSUD dr. H. Soewondo Kendal

Selasa, 01 Desember 2009

Soal Mid Semester I A & I B

Untuk Mahasiswa D.III Keperawatan Semester I A & I B


Jawablah pertanyan dengan jelas !!!!
  1. Kapan keperawatan Indonesia mengalami perkembangan yang membahagiakan ? jelaskan
  2. Klien sebagai manusia adalah mahluk dengan sistem terbuka, jelaskan kondisi tersebut dalam konteks keperawatan ?
  3. Model konseptual yang paling tepat dan bisa diterapkan di Indonesia adalah menurut ?.... jelaskan alasannya !
  4. Keperawatan sebagai profesi yang juga menentukan status sehat-sakit masyarakat, jelaskan maksud steatment tersebut !

Nb.
  • Jawablah secara individual
  • Kesamaan jawaban yang bersifat absolut mendapatkan nilai OO
  • Pengiriman paling akhir, IB : 3 Desember 2009 jam 24.00 WIB.
  • Untuk I A 4 Desember 2009 jam 24.00 WIB.


Good Luck

Minggu, 15 November 2009

Sinetron Hidup

Mengapa Indonesia Tak Bisa Apa-Apa
Mengapa Semua yang Ada Di Indonesia tak Ada Apa-Apanya
Mengapa Film, Senetron dan Telenovela Indonesia Tak ada Apa-Apanya
Mengapa Semua yang berkaitan dengan Bangsa Indonesia Tak ada Apa-Apanya
Semua-Semuanya, semuanya tak ada Apa-Apanya
Apakah Artinya Semua yang berkaitan dengan Indonesia adalah "Kosong" !!!
Kosong = Tak bermakna, Sampah, Kalah dan tak pernah baik, Sinetron Hidup

Senin, 24 Agustus 2009

RSUD Kendal "Askep BPH "

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN MASALAH
BENIGNA PROSTAT HIPERTROPY


Oleh : Indah Setyaningsih, 2009



A. DEFINISI

BPH adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter. Istilah Benigna Prostat Hipertropi sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar atau hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar periuretralah yang mengalami hiperplasia(sel-selnya bertambah banyak.
Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak menjadi gepeng dan disebut kapsul surgical. Maka dalam literatur di benigna hiperplasia of prostat gland atau adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat sudah umum dipakai.

B. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya Benigna Prostat Hipertropi belum diketahui secara pasti. Prostat merupakan alat tubuh yang bergantung kepada endokrin dan dapat pula dianggap undangan(counter part). Oleh karena itu yang dianggap etiologi adalah karena tidak adanya keseimbangan endokrin.
Namun menurut Syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998 etiologi dari BPH adalah:
o Adanya hiperplasia periuretral yang disebabkan karena perubahan keseimbangan testosteron dan estrogen.
o Ketidakseimbangan endokrin.
o Faktor umur / usia lanjut.
o Unknown / tidak diketahui secara pasti.

C. PATOLOGI ANATOMI
Kelenjar prostate adalah suatu kelenjar fibro muscular yang melingkar Bledder neck dan bagian proksimal uretra. Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20 gram dengan ukuran rata-rata:
- Panjang 3.4 cm
- Lebar 4.4 cm
- Tebal 2.6 cm
Secara embriologis terdiro dari 5 lobur:
- Lobus medius 1 buah
- Lobus anterior 1 buah
- Lobus posterior 1 buah
- Lobus lateral 2 buah
Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior dan lobus posterior akan menjadi saru disebut lobus medius. Pada penampang lobus medius kadang-kadang tidak tampak karena terlalu kecil dan lobus ini tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat. Pada potongan melintang uretra pada posterior kelenjar prostat terdiri dari:
- Kapsul anatomis
- Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler
- Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian:
Ø Bagian luar disebut kelenjar sebenarnya
Ø Bagian tengah disebut kelenjar sub mukosal, lapisan ini disebut juga sebagai adenomatus zone
Ø Di sekitar uretra disebut periuretral gland
Saluran keluar dari ketiga kelenjar tersebut bersama dengan saluran dari vesika seminalis bersatu membentuk duktus ejakulatoris komunis yang bermuara ke dalam uretra. Pada laki-laki remaja prostat belum teraba pada colok dubur, sedangkan pada oran dewasa sedikit teraba dan pada orang tua biasanya mudah teraba.
Sedangkan pada penampang tonjolan pada proses hiperplasi prostat, jaringan prostat masih baik. Pertambahan unsur kelenjar menghasilkan warna kuning kemerahan, konsisitensi lunak dan berbatas jelas dengan jaringan prostat yang terdesak berwarna putih ke abu-abuan dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan keluar cairan seperti susu.
Apabila jaringan fibromuskuler yang bertambah tonjolan berwarna abu-abu, padat dan tidak mengeluarkan cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan ini dapat menekan uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah. Terkadang juga penonjolan ini dapat menutupi lumen uretra, tetapi fibrosis jaringan kelenjar yang berangsur-angsur mendesak prostat dan kontraksi dari vesika yang dapat mengakibatkan peradangan.



D. PATOFISIOLOGI
Menurut syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998 adalah Umumnya gangguan ini terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan hormonal. Bagian paling dalam prostat membesar dengan terbentuknya adenoma yang tersebar. Pembesaran adenoma progresif menekan atau mendesak jaringan prostat yang normal ke kapsula sejati yang menghasilkan kapsula bedah. Kapsula bedah ini menahan perluasannya dan adenoma cenderung tumbuh ke dalam menuju lumennya, yang membatasi pengeluaran urin. Akhirnya diperlukan peningkatan penekanan untuk mengosongkan kandung kemih. Serat-serat muskulus destrusor berespon hipertropi, yang menghasilkan trabekulasi di dalam kandung kemih.
Pada beberapa kasus jika obsruksi keluar terlalu hebat, terjadi dekompensasi kandung kemih menjadi struktur yang flasid, berdilatasi dan sanggup berkontraksi secara efektif. Karena terdapat sisi urin, maka terdapat peningkatan infeksi dan batu kandung kemih. Peningkatan tekanan balik dapat menyebabkan hidronefrosis.
Retensi progresif bagi air, natrium, dan urea dapat menimbulkan edema hebat. Edema ini berespon cepat dengan drainage kateter. Diuresis paska operasi dapat terjadi pada pasien dengan edema hebat dan hidronefrosis setelah dihilangkan obstruksinya. Pada awalnya air, elekrolit, urin dan beban solutlainya meningkatkan diuresis ini, akhirnya kehilangan cairan yang progresif bisa merusakkan kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan serta menahan air dan natrium akibat kehilangan cairan dan elekrolit yang berlebihan bisa menyebabkan hipovelemia.
Menurut Mansjoer Arif tahun 2000 pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus urinarius, terjadi perlahan-lahan. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat.
Sebagai akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.


F. MANIFESTASI KLINIS
Walaupun Benigna Prostat Hipertropi selalu terjadi pada orang tua, tetapi tak selalu disertai gejala-gejala klinik, hal ini terjadi karena dua hal yaitu:
1. Penyempitan uretra yang menyebabkan kesulitan berkemih
2. Retensi urin dalam kandung kemih menyebabkan dilatasi kandung kemih, hipertrofi kandung kemih dan cystitis.
Adapun gejala dan tanda yang tampak pada pasien dengan Benigna Prostat Hipertrofi:
a. Retensi urin
b. Kurangnya atau lemahnya pancaran kencing
c. Miksi yang tidak puas
d. Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari (nocturia)
e. Pada malam hari miksi harus mengejan
f. Terasa panas, nyeri atau sekitar waktu miksi (disuria)
g. Massa pada abdomen bagian bawah
h. Hematuria
i. Urgency (dorongan yang mendesak dan mendadak untuk mengeluarkan urin)
j. Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksi
k. Kolik renal
l. Berat badan turun
m. Anemia
Kadang-kadang tanpa sebab yang diketahui, pasien sama sekali tidak dapat berkemih sehingga harus dikeluarkan dengan kateter. Karena urin selalu terisi dalam kandung kemih, maka mudah sekali terjadi cystitis dan selaputnya merusak ginjal.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pada pasien Benigna Prostat Hipertropi umumnya dilakukan pemeriksaan:
1. Laboratorium
Meliputi ureum (BUN), kreatinin, elekrolit, tes sensitivitas dan biakan urin
2. Radiologis
Intravena pylografi, BNO, sistogram, retrograd, USG, Ct Scanning, cystoscopy, foto polos abdomen. Indikasi sistogram retrogras dilakukan apabila fungsi ginjal buruk, ultrasonografi dapat dilakukan secara trans abdominal atau trans rectal (TRUS = Trans Rectal Ultra Sonografi), selain untuk mengetahui pembesaran prostat ultra sonografi dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukut sisa urine dan keadaan patologi lain seperti difertikel, tumor dan batu (Syamsuhidayat dan Wim De Jong, 1997).
3. Prostatektomi Retro Pubis
Pembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung kemih tidak dibuka, hanya ditarik dan jaringan adematous prostat diangkat melalui insisi pada anterior kapsula prostat.
4. Prostatektomi Parineal
Yaitu pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui perineum.


H. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada hipertropi prostat adalah
a. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal.
b. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi
c. Hernia / hemoroid
d. Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya batu
e. Hematuria
f. Sistitis dan Pielonefritis

I. FOKUS PENGKAJIAN
Dari data yang telah dikumpulkan pada pasien dengan BPH : Post Prostatektomi dapat penulis kelompokkan menjadi:
a) Data subyektif:
- Pasien mengeluh sakit pada luka insisi.
- Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual.
- Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan
- Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa.
b) Data Obyektif:
- Terdapat luka insisi
- Takikardi
- Gelisah
- Tekanan darah meningkat
- Ekspresi w ajah ketakutan
- Terpasang kateter

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan rasa nyamam: nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter
2. Perubahan pola eliminasi : retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder
3. Disfungsi seksual berhubungan dengan hilangnya fungsi tubuh
4. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée mikroorganisme melalui kateterisasi
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit, perawatannya.

K. RENCANA KEPERAWATAN
1. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter
Tujuan: Setelah dilakukan perawatan selama 3-5 hari pasien mampu mempertahankan derajat kenyamanan secara adekuat.
Kriteria hasil:
- Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang
- Pasien dapat beristirahat dengan tenang.
Intervensi:
a. Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor pencetus serta penghilang nyeri.
b. Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi)
c. Beri ompres hangat pada abdomen terutama perut bagian bawah
d. Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh, merokok, abdomen tegang)
e. Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasi
f. Lakukan perawatan aseptik terapeutik
g. Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat

2. Perubahan pola eliminasi urine: retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder.
Tujuan: Setelah dilakukan perawatan selama 5-7 hari pasien tidak mengalami retensi urin
Kriteria: Pasien dapat buang air kecil teratur bebas dari distensi kandung kemih.
Intervensi:
a. Lakukan irigasi kateter secara berkala atau terus- menerus dengan teknik steril
b. Atur posisi selang kateter dan urin bag sesuai gravitasi dalam keadaan tertutup
c. Observasi adanya tanda-tanda shock/hemoragi (hematuria, dingin, kulit lembab, takikardi, dispnea)
d. Mempertahankan kesterilan sistem drainage cuci tangan sebelum dan sesudah menggunakan alat dan observasi aliran urin serta adanya bekuan darah atau jaringan
e. Monitor urine setiap jam (hari pertama operasi) dan setiap 2 jam (mulai hari kedua post operasi)
f. Ukur intake output cairan
g. Beri tindakan asupan/pemasukan oral 2000-3000 ml/hari, jika tidak ada kontra indikasi
h. Berikan latihan perineal (kegel training) 15-20x/jam selama 2-3 minggu, anjurkan dan motivasi pasien untuk melakukannya.

3. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan sumbatan saluran ejakulasi, hilangnya fungsi tubuh
Tujuan: Setelah dilakukan perawatn selama 1-3 hari pasien mampu mempertahankan fungsi seksualnya
Kriteria hasil: Pasien menyadari keadaannya dan akan mulai lagi intaraksi seksual dan aktivitas secara optimal.
Intervensi:
a. Motivasi pasien untuk mengungkapkan perasaannya yang berhubungan dengan perubahannya
b. Jawablah setiap pertanyaan pasien dengan tepat
c. Beri kesempatan pada pasien untuk mendiskusikan perasaannya tentang efek prostatektomi dalam fungsi seksual
d. Libatkan kelurga/istri dalam perawatan pmecahan masalah fungsi seksual
e. Beri penjelasan penting tentang:
i. Impoten terjadi pada prosedur radikal
j. Adanya kemungkinan fungsi seksual kembali normal
k. Adanya kemunduran ejakulasi
f. Anjurkan pasien untuk menghindari hubungan seksual selama 1 bulan (3-4 minggu) setelah operasi.

Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée ikroorganisme melalui kateterisasi
Tujuan: Setelah dilakukan perawatan selama 1-3 hari pasien terbebas dari infeksi
Kriteria hasil:
a. Tanda-tanda vital dalam batas normal
b. Tidak ada bengkak, aritema, nyeri
c. Luka insisi semakin sembuh dengan baik
Intervensi:
a. Lakukan irigasi kandung kemih dengan larutan steril.
b. Observasi insisi (adanya indurasi drainage dan kateter), (adanya sumbatan, kebocoran)
c. Lakukan perawatan luka insisi secara aseptik, jaga kulit sekitar kateter dan drainage
d. Monitor balutan luka, gunakan pengikat bentuk T perineal untuk menjamin dressing
e. Monitor tanda-tanda sepsis (nadi lemah, hipotensi, nafas meningkat, dingin)

3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit, perawatannya
Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 1-2 hari
Kriteria : Secara verbal pasien mengerti dan mampu mengungkapkan dan mendemonstrasikan perawatan
Intervensi:
a. Motivasi pasien/ keluarga untuk mengungkapkan pernyataannya tentang penyakit, perawat
b. Berikan pendidikan pada pasien/keluarga tentang:
a. Perawatan luka, pemberian nutrisi, cairan irigasi, kateter
b. Perawatan di rumah
c. Adanya tanda-tanda hemoragi, infeksi